Menu

Saturday, February 12, 2011

Wabah Emosi: Diambil dari buku Menerapkan EQ di Tempat Kerja dan Ruang Keluarga

sumber gambar: pribadi
Mengebut dengan scooter di sepanjang jalan pusat kota tidak selalu menjadi cara yang baik untuk memulai hari. Louis Sullivan kembali terlambat masuk kerja dan masih berkelak-kelok di antara mobil-mobil untuk menghindari kemacetan. Dan itu belum cukup. Lampu merah memaksanya untuk berhenti. Sudah cukup?




Tidak juga.



Semuanya masih ditambah dengan radiasi panas aspal yang menembus tapak sepatunya! Scooter itu biasanya memang sangat menolong saat ia terlambat kerja, namun hari ini Louis mengutuknya. Apa yang sedang terjadi? Sebelum pertanyaan itu terjawab, masalah lain datang.



Ketika ia tiba di kantor, Louis bahkan tidak bisa menemukan tempat untuk parkir. Bisa Anda bayangkan! Tempat parkir seukuran scooter pun tak ada!



“Waktu mepet! Parkir mepet!” umpatnya saat menendang standar scooter-nya. Ia ‘terpaksa’ memarkir scooter di pojok area larangan parkir di depan kantor dan segera berlari masuk.



Keringat sudah membasahi pakaiannya saat ia mengantisipasi kemungkinan terburuk lainnya. Tak lama kemudian ia membenamkan diri di meja kerja, sibuk dengan berbagai e-mail dan dering telepon. Jam makan siang mendekat demikian cepat hingga seorang teman kerjanya menghampirinya dan berkata, “Ada mobil derek yang sedang berusaha mengambil scooter-mu!”



Louis spontan melompat dari kursinya dan menghambur ke lobby. Panasnya bulan Agustus menjadi teman akrab saat ia mendorong pintu depan dan melangkah ke trotoar. Seorang pria berjenggot lebat dengan seragam warna blue navy sedang berlutut di sisi scooter-nya, mencari tempat yang pas untuk diikat agar bisa mengangkat scooter tersebut ke atas mobil derek. Louis segera menghampirinya dan memohon maaf serta pengertian.



“Maaf. Tidak bisa, bung,” interupsi si supir. “Ini adalah wilayah dilarang parkir. Jadi scooter itu harus naik ke mobil derek.”



“Anda tidak perlu mendereknya, karena saya akan memindahkannya,” dalih Louis dengan tatapan memelas.



“Aturan adalah aturan, bung. Saya cuma berusaha menjalankan tugas.” Si supir mengeluh dan kembali melihat bagian bawah scooter.



Fikiran Louis dibanjiri oleh kebingungan dan keputus-asaan. Menebus scooter dari tempat derek akan membutuhkan uang yang jauh lebih banyak dibanding penghasilannya minggu ini. Ia hampir tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhannya.



“Ayolah, bung! Tidak bisakah anda melihat kalau saya sedang putus asa?”



Si supir hanya melihat Louis sekilas dengan senyum yang dibuat-buat. Louis bisa melihat sisa makanan di jenggot supir tersebut, sangat mungkin adalah sisa makan siang. Ya, supir itu memang sudah makan siang. Louis segera memikirkan keadaannya. Kenapa untuk makan siang saja ia harus menunggu? Resiko pekerjaankah? Bergelut dengan pertanyaan itu, Louis memasukkan tangan ke saku dan menoleh sejenak ke belakang, ke arah gerombolan rekan-rekan kerjanya yang berkumpul untuk menyaksikan peristiwa tersebut.



“Bagaimana kalau saya bayar dendanya sekarang dan scooter saya tetap di sini saja?” pinta Louis.



Kali ini supir tersebut mulai terkekeh. Ia segera berdiri dan mendekati Louis untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya. “Anda belum paham juga, ya?” Kemudian orang itu mengacungkan telunjuknya ke arah kendaraan yang menjadi terdakwa dan melanjutkan, “Scooter kecil anda ini parkir di wilayah terlarang, dan saya dipanggil untuk mendereknya. Saya akan dikutuk jika tidak membawanya serta.”



Sekarang Louis terlihat marah. Semua yang ia lihat berubah merah. Cukup sudah. Ia bergerak tiba-tiba ke arah kiri mobil derek dan dengan segenap kekuatannya ia membenamkan kakinya di pintu mobil tersebut. Setelah berhenti sejenak untuk mengagumi penyok yang ditinggalkan sepatunya di pintu tersebut, ia berbalik untuk melihat reaksi pemilik mobil.



Apa yang ia dapati?



Supir itu hanya tertawa sambil menunjuk ke arah mobil polisi yang parkir di pojok gedung. Darah Louis mendadak dingin. Ternyata, yang mengundang mobil derek itu untuk datang adalah para polisi, dan, tanpa ia sadari, mereka masih ada di sana. Para polisi segera menyalakan sirine dan Louis sendiri masih kaget saat para polisi mulai mendekatinya. Teman-teman kerjanya, termasuk sang bos, dengan diam menyaksikan para polisi itu memborgol Louis, membacakan hak-haknya, dan memasukkannya ke dalam mobil polisi.



Saat pacarnya memberikan jaminan untuk mengeluarkannya dari penjara malam itu, seluruh harta miliknya ada di dalam bagasi Hyundai pacarnya. Belum cukup dengan ditangkap polisi dan dipecat dari pekerjaan dalam satu hari, pacarnya mencampakkannya sebagai hasil dari perilaku irrasional yang ia lakukan.



Kesulitan Louis dalam memahami dan mengendalikan emosi, meskipun cukup dramatis, sebenarnya bukanlah hal yang tidak biasa. Orang yang dikendalikan oleh emosi yang kuat memang seringkali membuat situasi yang sudah sulit berubah menjadi semakin rumit. Selama lebih dari satu dekade, kami telah melakukan pemeriksaan terhadap 500.000 orang untuk mencari tahu tentang peran emosi dalam kehidupan mereka sehari-hari dan mempelajari hal apa yang berhasil dan hal apa yang tidak bisa dilakukan dalam menghadapi tantangan emosi.


[Dikutip dan direvisi seperlunya dari buku Menerapkan EQ di Tempat Kerja dan Ruang Keluarga karya Dr. Travis Bradberry dan Dr. Jean Greaves, dan diterbitkan oleh Think Jogjakarta, tahun 2007.]

No comments:

Post a Comment

Bantu saya memperbaiki blog ini
dengan menuliskan komentar: