Menu

Wednesday, November 30, 2011

Stigmatisasi Moral Perberat Penyandang AIDS

29/11/2011 14:57
Yogyakarta, NU Online
Rais Syuriyah PBNU KH Masdar F Mas’udi menyatakan stigmatisasi moral pada telah memperberat penyandang HIV/AIDS. Ia meyakini bahwa stigmatisasi moral ini telah melipat gandakan beban bagi para ODHA.

Masdar menyampaikan hal itu pada acara Pengurus Pusat Lembaga Kesehatan NU 24-27 Nopember, di Yogyakarta. “Jika beban klinis ODHA bisa diringankan oleh tindakan medis, maka beban moral-sosial yang dialami ODHA semestinya bisa dikurangi dengan menghapuskan stigmatisasi moral,” kata Masdar.

Menurutnya, peluang besar dalam menghapuskan stigma moral terhadap HIV/AIDS tersebut ada di tangan para agamawan. “Dan sosialisasi yang baik tentang virus HIV/AIDS di kalangan para agamawan diharapkan akan mampu merubah mindset masyarakat terhadap stigma tersebut. Dan pada akhirnya, akan bersumbangsih dalam menurunkan sikap diskriminatif masyarakat yang selama ini sudah dialami para ODHA,” jelasnya.

Sementara itu, Rais Syuriyah PWNU DIY KH Asyhari juga menegaskan, persoalan HIV/AIDS saat ini terasa semakin berat mengingat jalan penularannya yang tak lagi hanya sebagai resiko dari perilaku yang menyimpang.

“Fakta menunjukkan semakin banyaknya korban HIV/AIDS yang datang dari kalangan yang semula dianggap jauh dari resiko terjangkiti, semisal ibu rumah tangga dan bahkan pekerja medis. Ini tentu saja menjadi bukti bahwa HIV/AIDS adalah sebuah bahaya kemanusiaan yang harus dihilangkan, sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi, adl-dlarru yuzhallu, yang berbahaya itu harus dihilangkan,” jelasnya.

Pelatihan diikuti oleh dua puluh peserta, utusan dua belas badan otonom dan lembaga yang ada di bawah naungan PW NU DIY, ditambah masing-masing empat orang perwakilan dari dua majelis pengajian dan dua LSM peduli HIV/AIDS yang ada di Yogyakarta.

Menurut Ketua PW LKNU DIY drg. Abdul Kadir mengharapkan acara ini dapat menjadi titik tolak perubahan para aktivis NU dan banyak kalangan.

Redaktur     : Hamzah Sahal
Kontributor : M. Yusuf Anas

klik di sini untuk lihat di NU Online

Wednesday, October 26, 2011

Tari-tarian Nusantara

Tarian Daerah Provinsi Bali
1. Tari Kecak
2. Tari Legong
3. Tari Barongan
4. Tari Pendet

Wednesday, August 17, 2011

66 Tahun Indonesiaku….

oleh Muhammad Yusuf Anas pada 17 Agustus 2011 jam 15:00









[gambar diambil dari: http://17an.org/]

Indonesiaku… maafkan jika sama sekali belum ada bakti yang bisa aku persembahkan untukmu….

Indonesiaku… ampunkan jika nyatanya aku kerap mempermalukan nama besarmu….

Monday, August 1, 2011

Nasehat Ramadlan Gus Mus via akun twitter @gusmusgusmu












Teman2, ini adalah sebuah catatan yang murni saya salin dari tweet KH. A. Mustofa Bisri di akun twitter beliau dg alamat @gusmusgusmu....

Dan sekedar usaha untuk mempermudah teman2 membacanya, berikut adalah editan ngawurku terhadap tweet Simbah Kakung tersebut.

Ngapuntene lan maturnuwun sakderenge Mbah Kakung...

Monday, June 27, 2011

Acara tahlilan itu bid’ah? Ah yang bener aja!

sumber: goggle.com
Sebelum penyusun melanjutkan lebih jauh, izinkan penyusun yang belum memiliki ilmu walau seujung kuku ini mengungkapkan motivasi di balik upaya penyusunan catatan kecil ini.

Sebagai seorang aktifis jejaring sosial—utamanya facebook—yang dengan senang hati bersedia ikut merayakan euforia cyber-silaturrahim yang sedang melanda, penyusun yakin bahwa sebagian dari kita sesama pemilik akun jejaring sosial tentu berharap bisa mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dari teknologi yang satu ini. :)

Friday, April 1, 2011

Info Buku: Kisah 10 Mualaf Paling Berpengaruh di Eropa dan Amerika

Proses meraih kebenaran bukanlah sebuah rangkaian peristiwa tanpa makna. Bahkan, jika Anda sedikit lebih awas terhadap berbagai kejadian yang menimpa Anda, tentulah Anda sampai pada satu titik bahwa “selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa”.

Monday, March 28, 2011

Timeline di Akun Twitter @savicali tentang Sejarah NU











savicali savic aliel’ha
Sidang komisi khusus Rakernas NU dimulai. Pimpinan Sidang Dr. Malik Madani, Dr. Mahasin, Mun'I'm DZ, Prof Maksum. #NU
8 hours ago Favorite Retweet Reply

Sunday, March 13, 2011

Proses vs Hasil Akhir


oleh Muhammad Yusuf Anas pada 12 September 2010 jam 12:34

“Lupakan masa lalu agar kau punya masa depan,” ujarnya.

“Bagaimana mungkin aku melupakan masa lalu, sementara manusia adalah produk dari masa lalu?” tanyaku.

Do whatever it takes! Sebab, hanya dengan begitulah kau akan mampu melangkah ringan menuju cakrawala tak berbatas di masa depan

Proses vs Hasil Akhir Part II


oleh Muhammad Yusuf Anas pada 17 September 2010 jam 22:25

Aku hanya bisa termenung saat satu per satu sahabat pergi menapak jalan hidup mereka masing-masing; yang tidak lagi menyertakan keberadaan fisik mereka di sisiku. Hanya ada setangkup harap dalam hatiku yang mengiringi langkah kaki mereka: semoga aku tetap mampu menyimpan mereka dalam ingatanku. Kini, aku bisa ikut merasa bangga saat menyaksikan sebagian besar dari mereka sudah menjadi ‘orang’

Tuesday, March 1, 2011

Father and Son -- Sebuah Lagu Indah Milik Mualaf Yusuf Islam (Cat Stevens)


Ayah dan Anak
oleh: Cat Stevens


(Suara Ayah)

Its not time to make a change,
Ini bukan waktu untuk melakukan perubahan,
Just relax, take it easy.
Santai-lah dulu, pelan-pelan saja.
Youre still young, that's your fault,
Kau masih muda, dan itu kesalahanmu (takdirmu),
There's so much you have to know.
(Karena) masih ada begitu banyak hal yang harus kau ketahui.
Find a girl, settle down,
Carilah seorang gadis, menetaplah (berumah-tanggalah),
If you want you can marry.
Jika kau mau, kau bisa saja (langsung) menikah.
Look at me, I am old, but I am happy.
Lihat aku, aku sudah tua, tetapi aku bahagia.


I was once like you are now, and I know that it's not easy,
Aku pernah seperti kau sekarang, dan aku tahu itu (sama sekali) tidak mudah,
To be calm when you’ve found something going on.
Jadi orang yang tenang saat kau sadar bahwa sesuatu sedang terjadi.
But take your time, think a lot, why?
Tapi luangkan waktumu, banyak-banyaklah berpikir, kenapa?
Think of everything youve got.
Pikirkan semua yang sudah kau dapatkan.
For you will still be here tomorrow, but your dreams may not.
Karena kau mungkin masih akan ada di sini esok hari, tapi impianmu tidak.


(Suara Anak)

How can I try to explain, when I do he turns away again.
Bagaimana bisa aku coba jelaskan, ketika aku melakukannya ia berpaling lagi.
Its always been the same, same old story.
Ia selalu sama, cerita lama yang sama.
From the moment I could talk I was ordered to listen.
Sejak aku bisa bicara, aku (justru selalu) diperintah untuk mendengar.
Now there's a way and I know that I have to go away.
Kini ada sebuah jalan, dan aku tahu bahwa aku harus pergi.
I know I have to go.
Aku tahu bahwa aku harus pergi.


(Suara Ayah)

Its not time to make a change,
Ini bukan waktu untuk melakukan perubahan,
Just relax, take it easy.
Santai-lah dulu, pelan-pelan saja.
Youre still young, that's your fault,
Kau masih muda, dan itu kesalahanmu (takdirmu),
There's so much you have to know.
(Karena) masih ada begitu banyak hal yang harus kau ketahui.
Find a girl, settle down,
Carilah seorang gadis, menetaplah (berumah-tanggalah),
If you want you can marry.
Jika kau mau, kau bisa saja (langsung) menikah.
Look at me, I am old, but I am happy.
Lihat aku, aku sudah tua, tetapi aku bahagia.
(Son=away away away, I know I have to make this decision alone—no)
(Suara Anak=pergi, pergi, pergi, aku tahu aku harus membuat keputusan ini sendiri—oh tidak)


(Suara Anak)

All the times that I cried, keeping all the things I knew inside,
Setiap kali aku menangis, (dan) menyimpan semua yang kuketahui dalam hati (rapat-rapat),
Its hard, but it's harder to ignore it.
Memang sulit, tapi lebih sulit lagi mengabaikannya.
If they were right, I'd agree, but it's them you know not me.
Jika mereka memang benar, maka aku pasti setuju, tapi mereka-lah yang kau pahami, bukan aku.
Now there's a way and I know that I have to go away.
Kini ada sebuah jalan, dan aku tahu bahwa aku harus pergi.
I know I have to go.
Aku tahu bahwa aku harus pergi.
(father—stay stay stay, why must you go and Make this decision alone?)
(Suara Ayah-tinggallah, tinggallah, tinggallah, mengapa kau harus pergi dan membuat keputusan ini sendiri? )

Tuesday, February 22, 2011

Beberapa Wasiat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

The Sombrero Galaxy taken from Hubble
sumber: google.com
Jika engkau bertemu dengan seseorang, maka yakinlah bahwa dia lebih baik darimu. Ucapkan dalam hatimu: “Bisa jadi kedudukannya di sisi Allah swt jauh lebih baik dan lebih tinggi dariku.”



Jika bertemu anak kecil, maka ucapkanlah dalam hatimu: “Anak ini belum bermaksiat kepada Allah swt, sedangkan diriku telah banyak bermaksiat kepada-Nya. Tentu anak ini jauh lebih baik dariku.”



Jika bertemu orang tua, maka ucapkanlah dalam hatimu: “Dia telah beribadah kepada Allah swt jauh lebih lama dari pada aku, tentu dia lebih baik dariku.”



Jika bertemu dengan seorang yang berilmu, maka ucapkanlah dalam hatimu: “Orang ini memperoleh karunia yang tidak akan kuperoleh, mencapai kedudukan yang tidak akan pernah kucapai, mengetahui apa yang tidak kuketahui dan dia mengamalkan ilmunya, tentu dia lebih baik dariku.”



Jika bertemu dengan seorang yang bodoh, maka katakanlah dalam hatimu: “Orang ini bermaksiat kepada Allah swt karena dia bodoh (tidak tahu), sedangkan aku bermaksiat kepada-Nya padahal aku mengetahui akibatnya. Dan aku tidak tahu bagaimana akhir umurku dan umurnya kelak. Dia tentu lebih baik dariku.”



Jika bertemu dengan orang kafir, maka katakanlah dalam hatimu: “Aku tidak tahu bagaimana keadaannya kelak, bisa jadi di akhir usianya dia memeluk Islam dan beramal saleh, sementara bisa jadi di akhir usiaku, aku justru kufur dan berbuat buruk.”



Semoga ALLAH SWT menetapkan iman kita....

Semoga bermanfaat....



[Dikutip dari catatan Lukman Hakim berjudul Sayyidina Ali berkata]

Wednesday, February 16, 2011

Info Buku: Bagaimana Mengasah & Mengukuhkan Jiwa Kepemimpinan dalam Diri Anak-anak Anda


Judul buku: Bagaimana Mengasah & Mengukuhkan Jiwa Kepemimpinan dalam Diri Anak-anak Anda
Penulis: Dr. Tim Elmore
Penerjemah: Yusuf Anas
Penerbit: Garailmu Jogjakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2010

Ada sebuah kisah tentang seorang anak yang sangat merindukan saat-saat bersama ayahnya. Pada suatu sore, seorang anak bertanya kepada ayahnya yang baru pulang kerja, “Ayah, berapa banyak penghasilan ayah dalam satu jam?”

Terkejut dengan pertanyaan sang anak, ayah tersebut justru menjawab dengan tatapan yang melotot, “Kamu masih terlalu kecil untuk mengetahui hal itu. Lagi pula, ayah sedang capek. Jangan ganggu ayah.”

“Tapi, ayah. Tolong katakan. Berapa penghasilan ayah dalam satu jam?” paksa sang anak.

Sang ayah akhirnya menyerah dan menjawab, “Duapuluh dolar.”

“Baiklah, ayah. Bisakah ayah meminjamkanku uang sepuluh dolar?” lanjut sang anak.

Dengan menunjukkan keletihannya, sang ayah menjawab, “Jadi, ini alasan mengapa kamu menanyakan seberapa besar penghasilan ayah? Jangan banyak tingkah.”

ooOoo

Pada malam harinya, sang ayah mulai merasa menyesal atas ketidak-sabarannya tadi sore. Ia merasa sedikit bersalah. Ia berpikir, “Mungkin anakku ingin membeli sesuatu.” Untuk meredakan kegelisahannya, ia mendatangi kamar sang anak untuk melihat kalau-kalau sang anak masih terjaga.

“Kamu sudah tidur?” bisik sang ayah.

“Belum,” jawab sang anak.

Kemudian, sang ayah memberikan uang pecahan sepuluh dolar dan berkata, “Ini uang yang ingin kamu pinjam tadi.”

“Terimakasih, ayah!”

Senyum mengembang di wajah sang anak.

“Sekarang aku sudah punya cukup uang. Sekarang aku punya uang duapuluh dolar.

Seketika sang ayah bingung, ia memperhatikan buah hatinya seakan-akan ingin bertanya, “Apa yang hendak kamu beli, nak?” Namun, belum sempat ia mempertanyakan hal tersebut, sang anak sudah mendahuluinya, “Ayah, bisakah ayah menjual waktu ayah kepadaku selama satu jam?”


____________
Diambil dan diterjemahkan dari Dr. Tim Elmore, Nurturing The Leader Within Your Child, Thomas Nelson Publishers, 2001. 

(Edisi Bahasa Indonesia: Elmore, Bagaimana Mengasah & Mengukuhkan Jiwa Kepemimpinan dalam Diri Anak-anak Anda, Garailmu, Jogjakarta, Maret 2010)

lihat juga: 

Info Buku: The Power of Purpose

sumber Diva Press
Di dalam buku ini, Peter S. Temes menyoroti “pola pikir tiga tingkatan.” Di tingkatan pertama, kita mempertanyakan, Siapa saya? dan Apa yang saya inginkan? Pada tingkatan kedua, kita mempertanyakan, Siapa saya dalam pandangan orang lain? dan Bagaimana keadaan saya dalam pandangan mereka? Barulah pada saat kita menginjakkan kaki di pola pikir tingkatan ketiga, kita akan memiliki potensi untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan sejati. Yaitu dengan melepaskan ego diri kita sendiri dan menanyakan pada diri kita sendiri beberapa pertanyaan yang akan memberikan kekuatan tujuan ke dalam hidup kita: Bagaimana pandangan orang lain terhadap keadaan mereka sendiri? Bagaimana cara yang bisa saya lakukan untuk membantu mereka menjadi orang yang mereka inginkan? Dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan ini, Anda akan mengetahui cara-cara untuk membuka pintu kebahagiaan sejati untuk kehidupan Anda sendiri!


Untuk membantu Anda memahami buku ini, Temes juga menyertakan kearifan-kearifan hidup dari para pemikir besar, mulai dari Aristoteles, Soren Kierkegaard, hingga Abraham Lincoln; pelajaran hidup dari sejumlah orang sukses mulai dari Bunda Teresa hingga Michael Jordan; serta pengalamannya pribadi yang penuh dengan jejak-jejak kesuksesan.


Buku ini akan menjadi blueprint dan peta bagi Anda dalam membangun kepercayaan diri dan kekuatan, peluang dan kesempatan, dan ~yang paling penting~ jalan menuju kesuksesan dengan cara membantu sesama. Yakinlah, tidak ada prinsip yang lebih baik dan lebih memuaskan yang bisa Anda temukan dalam kehidupan harian Anda, dan tidak ada cara praktis yang bisa membantu Anda meraih tujuan-tujuan Anda, selain dari tujuan tersebut di atas.


(Dikutip dari buku The Power of Purpose: Peter S. Temes, Think, Jogjakarta, Februari 2010)

Info Buku: Manajemen Pembelajaran dan Instruksi Pendidikan

sumber gambar: pribadi

Judul Buku: Manajemen Pembelajaran dan Instruksi Pendidikan
Penulis: Kelvin Seifert
Penerjemah: Yusuf Anas
Penerbit: Ircisod
Bulan Terbit: April 2007

Pembelajaran adalah usaha sistematis yang memungkinkan terciptanya pendidikan demi meraih internalisasi ilmu pengetahuan sebagai proses pengalaman khusus yang bertujuan menciptakan perubahan secara terus-menerus (dinamika) dalam perilaku dan pemikiran manusia. Maka intensitas dan efektivitas hasil pendidikan (out-put/graduated) sangat ditentukan oleh manajemen mutu pembelajaran dan instruksi yang dijalankan dalam lembaga pendidikan tersebut.


Buku ini menyajikan Metode Manajemen Mutu Pendidikan (TQM) berbasis Psikologi Pendidikan dengan fokus manajemen pembelajaran dan instruksi pendidikan di tangan para tenaga ajar (guru). Ada enam hal besar (mainstream) yang dikupas buku ini:


* Memahami sifat dasar setiap pengetahuan: meneliti pengetahuan-pengetahuan yang memungkinkan terciptanya perubahan perilaku, mulai dari proses observasi dan sampai pencontohan (terapan).

* Penelitian pengetahuan sebagai pemikiran (wacana), perubahan-perubahan gagasan serta pengaruh perubahan-perubahan tersebut dalam diri para anak didik (siswa).

* Berbagai implikasi dari sifat dasar pengetahuan untuk merancang sebuah proses pembelajaran.

* Menunjukkan beberapa bentuk sampel perencanaan pembelajaran yang sistematis dan strategi-strateginya agar perencanaan-perencanaan tersebut berjalan lebih efektif.

* Mengevaluasi masalah-masalah yang muncul dalam usaha mengkoordinasikan berbagai aspirasi yang diterima para guru dari kelompok-kelompok siswa ~termasuk bagaimana mengelola masalah perilaku.

* Membedah kebutuhan-kebutuhan umum dan khusus para siswa yang berkaitan erat dengan proses pembelajaran di dalam kelas-kelas.


Selain faktor detil dan validitas format manajemen mutu pembelajaran yang ditawarkan di sini, kekuatan buku ini juga didukung oleh kemudahannya untuk diterapkan dan metodologi penelitiannya yang berbasiskan psikologi pendidikan. Walhasil, buku ini selain penting terutama bagi para pendidik, juga sangat berguna bagi para akademisi pendidikan (mulai kalangan mahasiswa, peneliti hingga dosen).

MUSEUM MASJID AGUNG DEMAK




Jum'at, 4 Juni 2010

Saya tiba di lapangan parkir Masjid Agung Demak sekitar jam 10-an dan setelah mendapat tiket serta membayar di muka, saya langsung memarkir sepeda motor di ruang yang tersedia. Kemudian, saya bergerak menuju tempat wudhu putra lalu mulai mensucikan diri. Serambi masjid tampak sudah ramai dipenuhi jama'ah, dan saya pun segera masuk ke dalam masjid untuk sholat tahiyyatul masjid dan shalat sunat wudhu. Kan, jarang-jarang bisa sholat di masjid tertua di tanah Jawa. So, begitu ada kesempatan, sikat! Apalagi hari ini kan hari Jum'at. Kendati banyak jamaah yang duduk-duduk di serambi masjid, suasana di dalam masjid sama sekali berbeda. Lengang sekali. Hanya ada tiga atau empat orang saja yang sholat maupun i'tikaf di sana.


Selepas sholat, dengan penuh percaya diri saya segera menuju ke arah selatan masjid, dan mencari-cari lokasi Museum Masjid Agung Demak. Seingat saya, ada seorang jama'ah yang beberapa waktu lalu mengusulkan agar saya "sowan teng kidul mriko" ketika saya menanyakan hal ihwal bedug dan kentongan peninggalan Wali Songo. So, di sana-lah saya celingak-celinguk dan hanya menemukan sebuah bangunan joglo yang bukan tempat yang saya tuju dengan Gedung Perpustakaan Masjid di belakangnya.


Akhirnya, saya merendahkan diri pada pepatah lama "Malu bertanya, sesat di jalan." Kebetulan ada beberapa siswa MTs melintas di depan saya, dan saya segera mencolek salah satunya, "Dik, museum masjid dimana ya?"


"Di sana," jawabnya dengan tangan menuding ke arah utara.


"Deket parkiran itu?" tanya saya.


"Ya," dia mengangguk.


"Deket tempat makam-makam itu?" tanya saya lagi.


"Ya," jawabnya lagi.


"Kalo di sini perpustakaan ya?" Pertanyaan ini sama sekali tidak signifikan, dan hanya sekedar usaha saya untuk menghindari kenyataan kalau saya adalah orang yang sedang kesasar.


"Iya, Mas. Kalau museumnya ada di sana," jawab teman sang siswa, mungkin karena jengkel akibat obrolan mereka terputus oleh kebodohan saya.


"Oh ya. Terima kasih ya?"


Setelah sempat menjadi orang yang nyasar, saya harus mampu menjadi orang yang pandai berterima-kasih. Masak udah kesasar masih belum mau berterimakasih? Mengerikan sekali, bukan?


~oOo~


Tepat sebelum saya masuk ke dalam museum, selaras beberapa siswa SD berebutan mengenakan kembali sepatu mereka di pintu museum. Saya bisa melihat jelas bahwa memang ada tulisan di sana: "ALAS KAKI HARAP DILEPAS."


Setelah meninggalkan sandal di depan pintu, saya pun mulai melangkah masuk dan mata saya langsung tertuju pada bedug yang tergantung di sisi kiri tempat saya berdiri. Tak jauh. Karena, museum tersebut memang terkesan sempit sekali. Ukurannya barangkali hanya sekitar 15x5 meter. Sepi. Seisi ruangan museum terasa sangat berwibawa.


Museum tersebut membujur barat-timur, dengan pintu menghadap ke selatan. Di tengah ruangan terdapat bedug, lengkap dengan tiang gantung dan 2 kentongan di masing-masing sisi, serta 2 buah kentongan tidur yang mirip lesung. Di sebelah timurnya, ada miniatur Masjid Agung minus serambi. Saya mendekati bedug dan kentongan. Ingin rasanya menyentuh tapi mata saya menangkap sebuah peringatan "Dilarang Menyentuh Benda Peninggalan" dan saya pun membatalkan keinginan tersebut. Saya tak begitu yakin apa yang membuat saya tidak memberanikan diri untuk melanggar peringatan tersebut. Entah karena taat atau karena takut~sekedar info, saat itu saya sedang sendirian saja di dalam museum.


Perhatian saya berpindah ke dinding dengan harapan menemukan keterangan tertulis tentang bedug dan kentongan ini. Namun yang saya dapatkan justru beberapa daun pintu, termasuk Pintu Bledeg tangkal petir hasil karya Ki Ageng Selo, terpampang di dinding barat museum. Di bawahnya tertata beberapa buah gentong hadiah Putri Campa. Saya mengalihkan perhatian ke dinding utara museum. Di sana saya mendapati silsilah para Sunan, dan daftar urutan nama-nama penguasa di Demak, mulai dari masa para Sultan, Adipati, hingga Bupati di zaman modern ini. Kemudian saya bergerak ke arah timur di mana dinding di sisi ini hanya diisi oleh beberapa gambar peninggalan yang dilengkapi dengan keterangan singkat. Gambar-gambar yang sama juga memenuhi sisi selatan museum. Sebenarnya salah satu gambar tersebut memampangkan pasangan bedug-kentongan bersejarah itu, hanya saja keterangan yang ada di bawahnya sama sekali nggak sinkron. Isi keterangan itu justru membahas secara umum berbagai koleksi yang terdapat di dalam museum.


Tak lama kemudian orang-orang mulai berdatangan. Dan, yang membuat hati saya sedikit kuciwa, saya mendengar suara kentongan yang diketok dengan jari dan suara bedug yang ditabuh dengan kepalan tangan! Serta-merta saya mencari siapa gerangan orang yang "kurang ajar" itu. Ternyata, seorang bapak-bapak! Mungkin usia pertengahan limapuluh. Mirip sekali dengan Pak RT dalam sitkom "Suami-suami Takut Istri" yang tayang di salah satu TV Swasta. "Ah, outlaw juga nih om-om," bisik saya dalam hati. Atau mungkin saja ia tidak melihat peringatan yang ada di sana. Entahlah.


Kemudian, pandangan saya tertuju pada seorang mas-mas yang duduk di meja yang ada di sisi kiri pintu masuk. Saya segera mendatanginya, "Pak Udin ya?"


Oh ya, saya lupa. Sebelumnya saya sempat bercakap-cakap dengan seorang sekuriti di ruang tunggu tamu. Dari sang sekuriti, saya menerima info bahwa juru kunci Museum Masjid Agung Demak ini bernama Pak Udin. Selain itu, Mas Sekuriti juga sempat mengomentari keingin-tahuan saya tentang bedug dan kentongan peninggalan Wali Songo yang ada di Museum Masjid Agung Demak ini, "Setahu saya, bedug dan kentongan itu hadiah dari Putri Campa.... Tapi, ini mung setahu saya lho ya?"


Mas-mas yang duduk di meja petugas museum ternyata bukan Pak Udin, "Bukan! Saya bukan Pak Udin. Saya cuma bantu-bantu aja kok, Mas."


Pikiran saya segera menebak jika ia adalah asisten dari Pak Udin. Benar atau tidak, saya sungkan untuk mempertanyakannya. Tapi, saya melihat ada logo takmir Masjid Agung Demak di dada kanan kemeja yang ia kenakan.


"Gini, Mas," saya mulai mengutarakan hajat saya. "Bedug dan kentongan itu kan merupakan media dakwah yang menjadi ciri khas masjid-masjid NU di nusantara."


Dalam hati saya tergelak, "Sok tahu kali aku ini!"


Tapi, saya bingung harus mulai dari mana. Dan aku tak tahu harus berkata apa. Di kananku luka, di kiriku luka.... Halaah! Malah Iwan Fals-an....


Saya memberanikan diri untuk melanjutkan, "Bisa dibilang bedug dan kentongan tidak akan ditemukan di masjid-masjid yang bukan masjid NU. Umumnya kan takmir masjid itu hanya menyetel kaset Qiro' dan selanjutnya adzan."


Sang asisten juru kunci memotong kalimat saya, "Bagi orang Jawa, bedug dan kentongan itu kan tetenger masuknya waktu sholat dan ini ada filosofinya, Mas."


Belum sempat saya bertanya, dia sudah melanjutkan, "Suara kentongan itu kan 'Tong... tong... tong....' sementara bedug mengeluarkan bunyi 'Dheng....' Lha kentongan dipukul dan keluar suara 'tong, tong, tong,' ini bisa diartikan sebagai sebuah isyarat seolah-olah takmir masjid memberitahukan kepada para jama'ah bahwa, 'Masjid masih kosong, masjid masih kosong.' Dan ketika suara 'dheng' keluar dari bedug yang ditabuh, ini bisa dimaksudkan sebagai pesan bahwa masjid masih sedheng atau masih muat. Sehingga inilah alasan mengapa bedug dan kentongan sering dianggap sebagai alat untuk mengajak jama'ah menuju ke masjid. Nah, setelah jama'ah berkumpul, barulah adzan dikumandangkan. Kan, jaman dulu belum ada pengeras suara."


"Hmmm... menarik," batin saya.


~oOo~


Sebenarnya ada banyak hal yang ia sampaikan pada saat itu, tapi fikiran saya sama sekali tidak fokus: Pak Udin kok gak kunjung datang ya? Setelah beberapa saat, saya pun mulai mengamati jam: pukul 11.05 WIB. Sebentar lagi masuk waktu Shalat Jum'at. Saya harus segera pulang. Saya harus menunda keinginan jum'atan di Masjid Agung Demak, karena motor keburu dipakai adik ipar saya yang kuliah di Semarang.


"Yah, mungkin saya masih harus mengunjungi museum ini di lain waktu agar bisa bertatap-muka dengan Pak Udin. Apalagi kedatangan saya kali ini tidak ditemani sebuah kamera untuk mengabadikan benda-benda peninggalan para Wali yang tentunya sarat akan sejarah," bisik saya dalam hati.


Alhamdulillah....

Kita Sama Sekali Tidak Tahu Pasti Kapan Suatu Hal Akan Mendatangkan Manfaat

Mullah Nasruddin terkadang membawa penumpang menyeberangi sungai dengan perahunya. Suatu hari seorang guru, yang terlalu cerewet terhadap hal-hal sepele, meminta Nasruddin agar membawanya ke seberang.

Baru saja Nasruddin mulai mendayung, sang guru cerewet tersebut sudah mempertanyakan apakah perahu kecil Nasruddin mampu membawa mereka menyeberang tanpa tenggelam.

“Jangan tanya kalau hal itu bukan apa-apa pada saya,” jawab Nasruddin.

Mendengar tata bahasa Nasruddin yang berantakan, sang guru tersebut bertanya, “Apakah kamu tidak pernah belajar tata bahasa?” tanya sang guru.

“Tidak,” jawab Nasruddin santai.

“Kalau begitu, setengah dari hidupmu sudah terbuang sia-sia,” jawab sang guru dengan sikap yang amat sangat meremehkan.

Tidak lama kemudian, bertiuplah angin yang cukup kencang. Perahu kecil Nasruddin mulai dipenuhi air. Nasruddin mendekatkan tubuhnya pada sang guru, teman seperjalanannya, dan mulai bertanya, “Guru yang saya hormati, apakah Anda pernah belajar berenang?”

“Tidak,” jawab sang guru.

“Kalau begitu, tuan guru yang pintar, seluruh hidup Anda sudah sia-sia. Karena saat ini kita sedang tenggelam.”


[Diterjemahkan dari bagian pembuka Bab II dari buku Robert E. Ornstein, The Psychology of Consciousness: Revised Edition, Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977, yang mengutip Idries Shah, The Exploits of the Incomparable Mulla Nasrudin New York: E. P. Dutton, 1972, hal. 18.]

Seorang Darwis yang Mampu Berjalan di Atas Air



Seorang darwis yang berpikiran kolot, dari sebuah aliran sufi yang sangat ketat, suatu hari sedang berjalan-jalan di pinggiran sungai. Pikirannya melayang, merenungkan berbagai masalah-masalah moral dan pendidikan, mengingat inilah bentuk ajaran sufi yang dijalankan dalam komunitas tempat ia bergabung. Ia mempersamakan ajaran tersebut sebagai sebuah pencarian Kebenaran sejati.


Tiba-tiba perenungannya terhenti oleh sebuah teriakan keras: seseorang sedang melafalkan zikir sufi seorang darwis.


“Zikir orang itu sama sekali tidak ada gunanya,” katanya dalam hati, “karena dia salah mengucapkan suku kata zikir tersebut. Bukannya melafalkan YA HU, ia justru mengulang-ulang U YA HU.”


Sebagai murid yang lebih teliti, ia merasa berkewajiban untuk membenarkan orang malang tersebut, yang barangkali belum pernah berkesempatan untuk mendapatkan tuntunan yang benar, dan karenanya bisa jadi ia hanya berusaha melakukan hal terbaik yang bisa ia lakukan dalam menyesuaikan diri dengan maksud di balik zikir tersebut.


Lalu si darwis pertama menyewa sebuah perahu dan berangkat menuju pulau di tengah sungai tempat asal suara itu. Di sana ia melihat seorang laki-laki sedang duduk di sebuah gubuk alang-alang, memakai jubah darwis, dan mengulang-ulang lafalannya yang keliru.


“Teman,” kata darwis pertama. “Engkau melakukan kesalahan ketika melafalkan suku kata zikir itu. Sudah menjadi kewajibanku untuk mengatakan ini padamu, karena ada pahala bagi orang yang memberi dan menerima nasehat. Beginilah seharusnya kau melafalkannya,” lalu ia pun memberitahukan lafal zikir yang benar kepada darwis malang tersebut.


“Aku tak tahu bagaimana cara membalas budi Anda. Terima kasih,” kata si darwis kedua dengan suka cita dan penuh kerendahan hati.


Darwis pertama kembali naik ke perahu sewaannya, dan gembira karena telah melakukan sebuah kebajikan. Sepengetahuan si darwis pertama ini, ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa siapa saja yang mampu melafalkan kata-kata suci zikir tersebut dengan benar, maka orang tersebut akan mampu berjalan di atas air: sebuah peristiwa yang sama sekali belum pernah ia lihat, meskipun ~dengan alasan-alasan tertentu~ ia selalu berharap bisa mencapai tingkatan tersebut.


Sekarang, ia tidak mendengar apa-apa lagi dari gubuk alang-alang itu, akan tetapi ia yakin bahwa nasehatnya telah diterima dengan baik. Ia pun mulai mendayung perahunya untuk kembali ke seberang.


~oOo~


Tak lama berselang, tepat ketika ia berada di tengah sungai, ia kembali mendengar lafal U YA HU yang terputus-putus ketika darwis di pulau itu kembali melafalkan zikir dalam cara lafalnya yang lama.


Si darwis pertama merenungkan betapa sifat keras kepala yang dimiliki manusia bisa menjebak siapa saja dalam kesalahan. Sementara ia berpikir dan merenung, tiba-tiba ia melihat sebuah pemandangan yang amat sangat aneh. Dari arah pulau, darwis kedua sedang menuju ke arahnya, dengan berjalan di atas permukaan air!


Karena takjub, ia berhenti mendayung. Dan darwis kedua telah berada di dekatnya dan berkata, “Saudaraku, maaf kalau saya mengganggu, akan tetapi saya merasa perlu menanyakan lagi standar baku pelafalan zikir yang sudah Anda ajarkan tadi, karena ternyata saya memiliki kesulitan dalam menghapalkannya.”


[Diterjemahkan dari bagian pembuka Bab 8 dari buku Robert E. Ornstein, The Psychology of Consciousness: Revised Edition, Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977, yang menyadur Idries Shah, Tales of the Dervishes, New York: E. P. Dutton, 1970, hal. 84-85 dan gambar diambil dari illustrasi bagian pembuka bab yang sama].

Sultan yang Menjadi Orang Buangan (Refleksi Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW)

Sultan Mesir mengumpulkan beberapa orang terpelajar dan, seperti biasanya, segera terjadi sebuah perdebatan. Pokok masalah dalam perdebatan tersebut adalah Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Diriwayatkan bahwa pada malam suci tersebut Nabi Muhammad SAW dijemput dari tempat tidur beliau dan dibawa ke alam akhirat. Di dalam perjalanan tersebut, beliau melihat surga dan neraka, mengalami berbagai peristiwa, berkomunikasi dengan Tuhan, dan dikembalikan ke tempat tidur beliau yang masih hangat. Bahkan, guci air yang terguling saat beliau berangkat masih belum habis mengucur saat beliau kembali.


Beberapa orang berpendapat bahwa hal ini sangat mungkin terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan perhitungan waktu (antara alam ini dan alam ‘itu’). Sultan berpendapat bahwa itu tidak mungkin.

Para penasehat istana menyatakan bahwa atas kuasa Tuhan segala sesuatunya bisa saja terjadi. Pendapat ini juga tidak memuaskan keingin-tahuan Sang Sultan.


Kabar tentang perdebatan tersebut pada akhirnya sampai juga di telinga Syaikh Sufi Shahabudin, yang segera datang menghadiri majelis Sultan. Sang Sultan pun menunjukkan kerendahan hatinya pada saat Sang Syaikh menjelaskan, “Saya tidak akan menunda-nunda lagi pembuktian saya: ketahuilah bahwa kedua tafsir di atas adalah tafsir yang keliru dan saya tegaskan bahwa ada faktor-faktor yang bisa kita buktikan, dan sekaligus bisa diterima oleh ajaran kita, tanpa membuat kita terjebak dalam spekulasi yang asal-asalan atau ‘rasionalitas’ yang sempit.”


Di ruangan tersebut terdapat empat jendela. Sang Syaikh meminta seseorang untuk membuka salah satunya. Sultan melihat keluar. Nun jauh di sana, di atas gunung, tampaklah sejumlah besar pasukan yang sedang menyerang, bergerak menuruni gunung menuju istana. Sultan sangat ketakutan.

“Jangan pedulikan Yang Mulia, tidak ada apa-apa,” kata Sang Syaikh.


Ia menutup jendela tersebut dan membukanya lagi. Kali ini tak seorang prajurit pun yang tampak.

Ketika ia membuka jendela yang lain, tampak kota sedang dilalap api. Sultan menjerit panik.

“Jangan bersusah-hati, Sultan, karena sama sekali tidak ada apa-apa,” lanjut Syaikh. Ketika ia menutup dan kembali membuka jendela tersebut, tak ada api yang tampak.


Jendela ketiga yang dibuka memperlihatkan banjir besar yang menuju istana. Lagi-lagi, setelah jendela tersebut ditutup dan kembali dibuka, banjir tersebut hilang.


Pada saat jendela keempat dibuka, tampaklah taman firdaus~dan pada saat jendela ditutup dan kembali dibuka, taman tersebut itu hilang tak berbekas, sama seperti yang terjadi pada jendela-jendela sebelumnya.


Selanjutnya, Syaikh meminta seember air, dan Sultan diminta untuk memasukkan kepalanya beberapa saat. Tepat ketika Sultan melakukan hal tersebut, ia menemukan dirinya sedang terasing sendirian di sebuah pantai tak bertuan, sebuah tempat yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

Mantera ajaib Sang Syaikh telah membuat Sang Sultan terusir keluar dari istananya dalam keadaan yang murka, dan Sang Sultan bersumpah untuk membalas dendam pada Syaikh Sufi tersebut.


Di pengasingannya Sang Sultan berjumpa dengan beberapa orang penebang pohon yang mempertanyakan siapakah gerangan dirinya. Karena ia tak mungkin menjelaskan siapa dirinya yang sesungguhnya, Sang Sultan mengatakan bahwa ia adalah seorang pelaut yang terdampar. Para penebang pohon tersebut lalu memberinya beberapa potong pakaian.


Kemudian Sultan masuk ke dalam kota dan di sana ada seorang pandai besi yang melihatnya mondar-mandir tanpa tujuan. Pandai besi itupun bertanya siapa dirinya. Sang Sultan menjawab, “Saya adalah seorang pedagang yang terdampar, selamat berkat belas kasihan para penebang kayu, dan saat ini menjadi seorang gelandangan.”


Pandai besi tersebut kemudian memberitahukannya sebuah kebiasaan di negeri tersebut. Setiap pendatang baru diperkenankan untuk meminang wanita yang keluar dari rumah pemandian jika wanita tersebut menerima pinangannya. Sultan segera menuju ke rumah pemandian dan melihat seorang gadis cantik keluar. Sultan mempertanyakan apakah sang gadis sudah menikah, dan ternyata sudah. Sultan pun harus bertanya kepada perempuan berikutnya, yang kebetulan adalah seorang wanita yang jelek, dan ternyata ia pun sudah menikah. Hingga akhirnya Sultan bertemu dengan wanita keempat yang cantik bak bidadari. Wanita tersebut menyatakan bahwa ia belum menikah, akan tetapi ia tak sudi menerima pinangan Sultan sebab pakaian dan penampilannya yang amat sangat menyedihkan.


Sang Sultan termangu sendirian. Hingga tak lama berselang, seorang laki-laki berdiri di belakangnya dan berkata: “Aku dikirim untuk menemui seorang pengemis di sini. Ikutilah aku.”


Sang Sultan tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti pelayan tersebut, dan ia diajak untuk masuk ke sebuah rumah yang sangat indah.


Di salah satu kamar yang megah ia duduk selama berjam-jam, hingga akhirnya empat orang wanita cantik dan berbusana indah masuk mendahului wanita kelima yang jauh lebih cantik. Sultan mengenali wanita kelima tersebut sebagai wanita terakhir yang dipinangnya di rumah pemandian. Wanita itu menyambutnya dan menjelaskan bahwa ia sengaja untuk bersegera pulang agar dapat mempersiapkan diri menyambut kedatangannya, dan bahwa penolakannya tadi hanyalah salah satu bentuk lain dari kebiasaan negeri tersebut, yang harus dilakukan oleh semua wanita.


Berikutnya dibawalah masuk berbagai masakan yang lezat, dan jubah yang indah juga diberikan pada Sultan, sementara musik yang merdu mulai mengalun.


Sultan tinggal di sana selama tujuh tahun bersama istri barunya, hingga seluruh harta warisan wanita tersebut habis tak bersisa. Kemudian wanita itu menyatakan bahwa saat ini Sultan harus menghidupinya dan ketujuh anak laki-laki mereka.


Teringat pada pandai besi yang merupakan teman pertamanya di kota itu, Sultan pun mendatanginya untuk berkonsultasi. Karena Sultan tidak memiliki barang dagangan atau ketrampilan apapun, si pandai besi memberinya saran untuk pergi ke pasar dan menawarkan tenaga sebagai kuli.


Sepanjang hari bekerja mengangkut beban yang luar biasa berat, ia hanya mendapat sepersepuluh uang yang dibutuhkannya untuk makan sekeluarga. Hal ini membuat Sang Sultan bersedih hati.


Pada hari berikutnya, Sang Sultan berjalan-jalan ke tempat pertama kali ia terdampar tujuh tahun yang lalu. Ia melamun mengeluhkan nasibnya dan akhirnya ia memutuskan untuk berdoa. Sultan pun mulai mengambil air wudlu. Secara tiba-tiba dan ajaib, ia mendapati dirinya sudah kembali di istana, di depan setimba air, di hadapan Syaikh Sufi, dan majelisnya.




“Tujuh tahun dalam pembuangan, jahanam!” sumpah serapah Sang Sultan pada Sang Syaikh. “Tujuh tahun, berumah tangga dan menjadi kuli! Tidak takutkah Engkau pada Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan ulahmu ini?”


“Tapi itu hanya sekejap saja,” kata Sang Syaikh Sufi, “dihitung sejak Anda memasukkan kepala anda ke dalam air.”


Majelis membenarkan pernyataan Sang Syaikh.


Sang Sultan sama sekali tidak percaya satu patah kata pun. Ia segera mengeluarkan perintah agar kepala Sang Syaikh dipenggal. Mendapat firasat bahwa hal buruk akan terjadi, Sang Syaikh segera merapalkan Ilmu Al-Ghaibat: Ilmu Menghilang. Secara tiba-tiba, ia sudah berada di Damaskus, yang berjarak berhari-hari perjalanan. Dari sana ia menuliskan surat untuk Sang Sultan:


“Tujuh tahun berlalu bagi Tuan, seperti yang telah Tuan alami sendiri. Sesungguhnya itu, hanya sekejap saja, selama kepala Tuan masuk ke dalam air. Hal ini bisa terjadi dengan melatih kemampuan-kemampuan tertentu dan ini bukanlah sebuah pertanda khusus tentang apapun, kecuali hanyalah sebuah gambaran tentang apa yang bisa dan mungkin terjadi. Bukankah menurut riwayat tersebut tempat tidur Nabi masih hangat dan bukankah guci air yang tumpah belum lagi kosong?


“Yang terpenting bukanlah apakah peristiwa itu benar-benar terjadi atau apakah faktornya. Tuan, peristiwa apapun mungkin saja terjadi. Yang terpenting adalah makna dari peristiwa tersebut. Dalam kasus keterasingan Tuan, sama sekali tidak ada makna apa-apa. Sementara dalam Mi’raj Nabi, terdapat makna yang amat sangat penting.”

[Diterjemahkan dari bagian pembuka Bab 4 dari buku Robert E. Ornstein, The Psychology of Consciousness: Revised Edition, Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977, yang menyadur Idries Shah, Tales of the Dervishes, New York: E. P. Dutton, 1970, hal. 35-38. Dan gambar ini juga diambil dari ilustrasi bagian pembuka Bab 4 tersebut.]

Bukan Proses dan Hasil Akhir Part III

Kau menganggap dirimu miskin? Pikirkan lagi. Pendapatanmu tak jelas karena memang pekerjaanmu sendiri tak jelas. Dalam sehari kau makan hanya satu kali. Itu pun hanya dengan sambal terasi. Walau kadang diselingi telur dadar yang bercampur teri. Aku bisa merasakan pahitnya keadaanmu di ujung lidahku. Dan wajarlah jika kau menganggap dirimu miskin.

Tapi, pernahkah kau menghitung kemiskinanmu itu? Dalam sehari kau harus mengeluarkan tiga ribu rupiah untuk makan bersama istri dan dua anakmu. Dalam sebulan pengeluaranmu itu saja sudah berjumlah 90 ribu rupiah. Dan sudah berapa lama kau telah menjalani hal ini? Anggap saja ini sudah berlangsung selama empat tahun. Empat juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah. Itu baru untuk perutmu saja. Belum untuk membeli pakaian yang mungkin hanya satu stel dalam setahun. Kalau satu stel pakaian berharga 150 ribu rupiah, maka kau membutuhkan 600 ribu rupiah untuk 4 stel. Dalam empat tahun jumlah itu berubah menjadi dua juta empat ratus ribu rupiah. Artinya, kebutuhan sandang dan panganmu selama empat tahun sudah menghabiskan enam juta tujuh ratus dua puluh ribu rupiah. Uang yang banyak. Belum lagi untuk biaya kontrakan yang berjumlah tiga juta per tahun. 12 juta untuk empat tahun. Delapan belas juta tujuh ratus dua puluh ribu rupiah. Dan kau masih menganggap dirimu miskin?

Pernahkah kau membayangkan jika keadaanmu bisa saja sama persis dengan seorang lain di sekitarmu atau mungkin bahkan di belahan lain dunia ini? Aku rasa kau tidak pernah melakukannya. Apa lagi untuk memikirkan seseorang yang keadaannya yang tidak seberuntung dirimu. Ya, kan? Aku yakin kau lebih suka menghabiskan waktumu memikirkan keadaan seseorang (atau mungkin lebih dari seorang) yang menurutmu jauh lebih beruntung darimu. Mungkin seorang PNS dengan gaji lima juta rupiah per bulan yang istrinya juga adalah seorang abdi negara bergaji empat juta sebulan.

Haha!

Jangan terjebak, kawan.

Berkacalah pada apa yang terjadi pada Ayyub AS saat ia hanya tinggal tulang-belulang dengan lidah dan hati.

Mendengar Sebagai Salah Satu Cara Mempengaruhi Orang Lain


Saat ini, “seni mendengarkan” agaknya sudah menjadi sebuah seni yang punah dan perlu kita temukan kembali. Kita akan kehilangan kepercayaan dan keakraban ketika kita gagal menjadi pendengar yang baik. Izinkan saya memberikan sebuah illustrasi. Salah satu mimpi terburuk kita barangkali adalah menerima panggilan telepon darurat di tengah malam. Seorang ibu pernah mendapat telepon sedemikian, dan peristiwa tersebut memberikan sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi dirinya dan keluarganya. Saat itu, telepon berdering tepat saat jam wekernya menunjuk angka duabelas malam. Ia harus mengucek-ucek mata hanya untuk mengangkat gagang telepon dan mengatakan, “Halo?”

Apa yang terjadi selanjutnya? Ibu tersebut menceritakan secara lebih rinci:

Jantung saya berdetak kencang. Saya menggenggam gagang telepon lebih erat. Dan saya pun menatap suami saya yang ikut terbangun dan menanyakan tentang siapa yang menelepon. Saya panik saat mendengar suara redup seorang perempuan muda, “Mama?”

Saya hampir tidak bisa mendengar bisikan tersebut di tengah-tengah desir udara. Akan tetapi pikiran saya segera beralih pada putri saya. Ketika suara tangis penuh putus asa tersebut menjadi semakin jelas, saya segera meraih pergelangan tangan suami saya.

“Mama, aku tahu ini sudah larut, tapi tolong... tolong jangan katakan apa-apa sampai aku selesai bicara. Dan sebelum Mama bertanya, ya... aku jujur, aku baru saja mabuk-mabukan. Dan beberapa mil yang lalu aku hampir saja keluar dari jalan raya dan....” Ia berhenti sejenak. “Dan aku takut. Yang bisa aku pikirkan hanyalah betapa menyakitkan jika polisi datang ke rumah dan menyampaikan berita bahwa aku mati dalam kecelakaan. Aku mau... aku mau pulang ke rumah. Aku tahu bahwa lari dari rumah adalah sebuah tindakan yang salah. Seharusnya aku menelepon sejak beberapa hari yang lalu, tapi… aku takut.”

Sontak saya langsung membayangkan wajah putri saya, dan panca indera saya yang tadi masih kabur segera menjadi semakin jelas untuk mengatakan, “Aku kira....”

“Jangan! Tolong jangan potong, Ma. Biarkan aku selesai! Tolong!” Suara di ujung telepon memohon, bukan dalam nada marah, tapi lebih dalam nada keputus-asaan.

Saya berhenti dan mencoba berpikir tentang apa yang harus saya katakan. Sebelum saya mengatakan apa-apa, ia sudah melanjutkan lagi. “Aku hamil, Ma. Dan aku tahu tidak seharusnya aku mabuk-mabukan... terutama saat aku hamil, tapi aku tak tahu harus bagaimana. Aku takut, Ma.”

Suara itu terhenti lagi. Saya pun menggigit bibir, dan mulai merasakan titik air di sudut mata saya. Suami saya yang sedari tadi duduk terdiam mulai memimikkan tanya tanpa suara, “Siapa?” Saya menggelengkan kepala. Dan karena saya tidak memberikan jawaban, suami saya pergi keluar dan kembali lagi dengan telepon portable di telinganya. Terdengar suara “klik” ketika suami saya ikut menguping melalui telepon portable yang ia bawa. Suara itu juga pasti terdengar di ujung telepon sana, sebab gadis itu segera bertanya, “Mama masih di sana? Tolong jangan tutup teleponnya! Aku membutuhkan Mama. Aku merasa sangat sendiri.”

“Teruskan saja,” jawab saya. “Aku tidak akan menutup teleponnya.”

“Seharusnya aku mengatakannya pada Mama sejak dulu. Tapi, setiap kali kita bicara, Mama selalu saja memberitahukan apa yang harus aku lakukan. Mama membaca semua brosur tentang bagaimana cara membicarakan seks, tentang ini-itu, dan tentang semua hal lainnya. Tapi, apa yang Mama lakukan hanyalah bicara dan bicara. Mama tidak pernah mendengarkan aku. Mama tidak pernah membiarkan aku menyatakan perasaanku seolah-olah perasaanku itu tidak ada. Karena Mama adalah ibuku, Mama mengira memiliki semua jawaban untuk setiap masalahku. Tapi, perlu Mama tahu, kadang-kadang aku tidak membutuhkan jawaban. Ada kalanya aku hanya membutuhkan seseorang yang bersedia mendengarkan ungkapan perasaanku.”

Saya menelan liur untuk membasahi kerongkongan yang kering dan melihat brosur-brosur tentang “bagaimana cara berbicara pada anak-anak Anda” tersebar di meja rias kamar tidur.

“Kini aku bisa mengerti semua ceramah Mama tentang betapa aku tidak seharusnya mabuk-mabukan sambil menyetir mobil, jadi sebelum ini aku sudah menelepon taksi. Mama, aku mau pulang.”

“Tunggu sampai taksi datang, sayang. Jangan tutup telepon sampai taksi itu datang.”

“Baiklah, Mama.”

Saya lega ia masih di sana.

Tak lama kemudian, saya mendengar deru mesin taksi di ujung telepon, dan ia pun menutup pembicaraan kami. Barulah pada saat itu ketegangan saya bisa mereda. Ia sudah berada dalam kondisi yang aman.

Sambil menutup telepon, saya menatap suami saya dan mengatakan: “Kita harus belajar mendengarkan.”

Kemudian kami berdua beranjak ke kamar putri kami, dimana ia sedang terbaring lelap. Suami saya bertanya, “Sayang.... Menurutmu, apakah gadis malang itu akan menyadari bahwa ia sudah salah sambung?”

“Entahlah... tapi, bisa jadi ia tidak menghubungi nomor yang salah,” bisik saya.

Hmmm. Pasangan orangtua tersebut sudah mendapatkan sebuah pelajaran yang amat sangat berharga dari pengalaman orang lain yang sama sekali tidak mereka kenal. Saya percaya kita akan mendapatkan hak kita untuk bicara jika kita sudah mendengar dengan baik. Memang, suara favorit di telinga kita adalah suara kita sendiri. Dan ketika para orangtua diminta untuk mendengar, mereka justru akan berbusa membicarakan kelebihan-kelebihan yang ada pada anak-anak mereka. Sesungguhnya, sebuah motivasi akan jauh lebih efektif jika disampaikan dengan kesediaan untuk mendengar ketimbang dengan kemampuan berbicara. Mengapa? Karena seni mendengar adalah sebuah seni yang mementingkan kepedulian dan keakraban.


____________
Diambil dan diterjemahkan dari Dr. Tim Elmore, Nurturing The Leader Within Your Child, Thomas Nelson Publishers, 2001. 

(Edisi Bahasa Indonesia: Elmore, Bagaimana Mengasah & Mengukuhkan Jiwa Kepemimpinan dalam Diri Anak-anak Anda, Garailmu, Jogjakarta, Maret 2010)

baca juga:

Seribu Kelereng


Beberapa minggu yang lalu, saya menyeret kaki saya ke basement dengan secangkir kopi panas di satu tangan, dan surat kabar baru di tangan yang lain. Apa yang tadinya hanya merupakan hari Sabtu pagi biasa ternyata berubah menjadi sebuah pelajaran yang luar biasa penting bagi saya.


Selanjutnya saya memutar-mutar frekuensi radio dengan tujuan untuk mendengarkan sebuah acara hiburan Sabtu pagi yang menyenangkan. Akhirnya saya mendengar sebuah suara tua yang penuh wibawa berbicara melalui telepon. Orang yang sudah berumur tersebut sedang menyampaikan sebuah teori kepada penyiar yang menemaninya berbicara ~sebuah teori tentang seribu kelereng.


Entah kenapa, saya memilih untuk mendengarkannya. Orangtua itu berkata, “Baiklah, Tom (si penyiar radio). Tampaknya Anda sibuk dengan pekerjaan yang Anda miliki. Saya yakin pekerjaan itu memberikan bayaran yang layak untuk Anda, tapi patut disayangkan betapa pekerjaan itu telah membuat Anda harus berada jauh dari keluarga. Sayang sekali Anda tidak bisa menyaksikan pertunjukan tari putri Anda di sekolah.” Ada jeda sejenak. Jelas sekali Tom tidak bisa membantah pernyataan tersebut. “Tom, izinkan saya menyampaikan sesuatu kepada Anda... sesuatu yang sudah membantu saya menjaga sebuah perspektif terhadap prioritas-prioritas yang saya miliki. Saya menyebutnya dengan teori seribu kelereng.


“Begini, suatu saat saya duduk dan melakukan sedikit perkalian matematika. Sebagaimana yang kita ketahui, usia rata-rata manusia adalah tujuhpuluh lima tahun. Kemudian saya mengalikan 75 dengan 52 dan hasilnya adalah 3900, yang merupakan jumlah dari hari Sabtu yang ada di sepanjang rata-rata usia manusia. Sekarang, dengarkan saya Tom. Saya akan menyampaikan bagian yang terpenting.


“Ketika saya memikirkan hal ini secara detail, saya sudah menginjak usia limapuluh lima tahun... artinya, saya sudah menjalani sekitar 2800 hari Sabtu. Saya jadi berpikir, jika memang saya berkesempatan untuk hidup selama tujuhpuluh lima tahun, maka hanya ada sekitar seribu hari Sabtu lagi yang bisa saya nikmati. Jadi, saya mendatangi toko mainan dan membeli semua kelereng yang mereka punya. Bahkan, saya harus mengunjungi tiga buah toko untuk bisa membulatkan jumlah seribu kelereng. Saya membawa seribu butir kelereng itu pulang ke rumah dan memasukkannya ke dalam sebuah wadah plastik yang cukup besar. Sejak saat itu, setiap hari Sabtu, saya mengambil satu kelereng dan membuangnya. Ketika menyaksikan berkurangnya kelereng-kelereng tersebut, saya menyadari bahwa saya cenderung memfokuskan perhatian saya pada hal yang benar-benar penting dalam hidup saya. Tak ada hal terbaik yang bisa membantu Anda meluruskan prioritas-prioritas Anda selain menjadi saksi dari berkurangnya waktu Anda di muka bumi ini.


“Sekarang, izinkan saya menyampaikan satu hal lagi sebelum saya menutup telepon dan mengajak istri saya sarapan. Pagi ini, saya baru saja mengambil satu kelereng terakhir dari wadah plastik yang saya sebutkan tadi. Saya berpikir, jika saya masih bisa menikmati hari Sabtu depan, itu artinya saya mendapatkan sedikit waktu ekstra. Dan, sedikit waktu ekstra adalah sebuah kesempatan yang kita semua bisa manfaatkan. Senang sekali bisa berkenalan dengan Anda, Tom. Saya harap Anda bisa memiliki lebih banyak waktu bersama keluarga Anda.”


Kemudian, ia menutup telepon. Hening sekali suasana di sekitar saya waktu itu. Saya kira orang tersebut baru saja memberikan banyak sekali bahan yang bisa kita pikirkan. Tadinya, saya berencana untuk memperbaiki antena, kemudian merapikan e-mail dari kantor... tapi saya memilih untuk merubah rencana saya. Sebaliknya, saya menaiki tangga menuju kamar tidur dan membangunkan istri saya yang cantik dengan sebuah kecupan hangat.

“Bangun, sayang. Aku akan membuat sarapan untukmu dan anak-anak.”

“Ada apa sih?” bidadari itu bertanya dengan senyum tersungging di sudut bibirnya.

“Tidak. Tidak ada yang istimewa. Hanya saja sudah lama sekali kita tidak menikmati hari Sabtu bersama anak-anak.”


Hening sejenak.

By the way, bisakah kita mampir di toko mainan saat kita keluar nanti? Aku perlu membeli beberapa butir kelereng.”

____________
Diambil dan diterjemahkan dari Dr. Tim Elmore, Nurturing The Leader Within Your Child, Thomas Nelson Publishers, 2001. 

(Edisi Bahasa Indonesia: Elmore, Bagaimana Mengasah & Mengukuhkan Jiwa Kepemimpinan dalam Diri Anak-anak Anda, Garailmu, Jogjakarta, Maret 2010)

lihat juga:

Saturday, February 12, 2011

Wabah Emosi: Diambil dari buku Menerapkan EQ di Tempat Kerja dan Ruang Keluarga

sumber gambar: pribadi
Mengebut dengan scooter di sepanjang jalan pusat kota tidak selalu menjadi cara yang baik untuk memulai hari. Louis Sullivan kembali terlambat masuk kerja dan masih berkelak-kelok di antara mobil-mobil untuk menghindari kemacetan. Dan itu belum cukup. Lampu merah memaksanya untuk berhenti. Sudah cukup?