Menu

Wednesday, February 16, 2011

Seorang Darwis yang Mampu Berjalan di Atas Air



Seorang darwis yang berpikiran kolot, dari sebuah aliran sufi yang sangat ketat, suatu hari sedang berjalan-jalan di pinggiran sungai. Pikirannya melayang, merenungkan berbagai masalah-masalah moral dan pendidikan, mengingat inilah bentuk ajaran sufi yang dijalankan dalam komunitas tempat ia bergabung. Ia mempersamakan ajaran tersebut sebagai sebuah pencarian Kebenaran sejati.


Tiba-tiba perenungannya terhenti oleh sebuah teriakan keras: seseorang sedang melafalkan zikir sufi seorang darwis.


“Zikir orang itu sama sekali tidak ada gunanya,” katanya dalam hati, “karena dia salah mengucapkan suku kata zikir tersebut. Bukannya melafalkan YA HU, ia justru mengulang-ulang U YA HU.”


Sebagai murid yang lebih teliti, ia merasa berkewajiban untuk membenarkan orang malang tersebut, yang barangkali belum pernah berkesempatan untuk mendapatkan tuntunan yang benar, dan karenanya bisa jadi ia hanya berusaha melakukan hal terbaik yang bisa ia lakukan dalam menyesuaikan diri dengan maksud di balik zikir tersebut.


Lalu si darwis pertama menyewa sebuah perahu dan berangkat menuju pulau di tengah sungai tempat asal suara itu. Di sana ia melihat seorang laki-laki sedang duduk di sebuah gubuk alang-alang, memakai jubah darwis, dan mengulang-ulang lafalannya yang keliru.


“Teman,” kata darwis pertama. “Engkau melakukan kesalahan ketika melafalkan suku kata zikir itu. Sudah menjadi kewajibanku untuk mengatakan ini padamu, karena ada pahala bagi orang yang memberi dan menerima nasehat. Beginilah seharusnya kau melafalkannya,” lalu ia pun memberitahukan lafal zikir yang benar kepada darwis malang tersebut.


“Aku tak tahu bagaimana cara membalas budi Anda. Terima kasih,” kata si darwis kedua dengan suka cita dan penuh kerendahan hati.


Darwis pertama kembali naik ke perahu sewaannya, dan gembira karena telah melakukan sebuah kebajikan. Sepengetahuan si darwis pertama ini, ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa siapa saja yang mampu melafalkan kata-kata suci zikir tersebut dengan benar, maka orang tersebut akan mampu berjalan di atas air: sebuah peristiwa yang sama sekali belum pernah ia lihat, meskipun ~dengan alasan-alasan tertentu~ ia selalu berharap bisa mencapai tingkatan tersebut.


Sekarang, ia tidak mendengar apa-apa lagi dari gubuk alang-alang itu, akan tetapi ia yakin bahwa nasehatnya telah diterima dengan baik. Ia pun mulai mendayung perahunya untuk kembali ke seberang.


~oOo~


Tak lama berselang, tepat ketika ia berada di tengah sungai, ia kembali mendengar lafal U YA HU yang terputus-putus ketika darwis di pulau itu kembali melafalkan zikir dalam cara lafalnya yang lama.


Si darwis pertama merenungkan betapa sifat keras kepala yang dimiliki manusia bisa menjebak siapa saja dalam kesalahan. Sementara ia berpikir dan merenung, tiba-tiba ia melihat sebuah pemandangan yang amat sangat aneh. Dari arah pulau, darwis kedua sedang menuju ke arahnya, dengan berjalan di atas permukaan air!


Karena takjub, ia berhenti mendayung. Dan darwis kedua telah berada di dekatnya dan berkata, “Saudaraku, maaf kalau saya mengganggu, akan tetapi saya merasa perlu menanyakan lagi standar baku pelafalan zikir yang sudah Anda ajarkan tadi, karena ternyata saya memiliki kesulitan dalam menghapalkannya.”


[Diterjemahkan dari bagian pembuka Bab 8 dari buku Robert E. Ornstein, The Psychology of Consciousness: Revised Edition, Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977, yang menyadur Idries Shah, Tales of the Dervishes, New York: E. P. Dutton, 1970, hal. 84-85 dan gambar diambil dari illustrasi bagian pembuka bab yang sama].

No comments:

Post a Comment

Bantu saya memperbaiki blog ini
dengan menuliskan komentar: