Menu

Wednesday, February 16, 2011

Mendengar Sebagai Salah Satu Cara Mempengaruhi Orang Lain


Saat ini, “seni mendengarkan” agaknya sudah menjadi sebuah seni yang punah dan perlu kita temukan kembali. Kita akan kehilangan kepercayaan dan keakraban ketika kita gagal menjadi pendengar yang baik. Izinkan saya memberikan sebuah illustrasi. Salah satu mimpi terburuk kita barangkali adalah menerima panggilan telepon darurat di tengah malam. Seorang ibu pernah mendapat telepon sedemikian, dan peristiwa tersebut memberikan sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi dirinya dan keluarganya. Saat itu, telepon berdering tepat saat jam wekernya menunjuk angka duabelas malam. Ia harus mengucek-ucek mata hanya untuk mengangkat gagang telepon dan mengatakan, “Halo?”

Apa yang terjadi selanjutnya? Ibu tersebut menceritakan secara lebih rinci:

Jantung saya berdetak kencang. Saya menggenggam gagang telepon lebih erat. Dan saya pun menatap suami saya yang ikut terbangun dan menanyakan tentang siapa yang menelepon. Saya panik saat mendengar suara redup seorang perempuan muda, “Mama?”

Saya hampir tidak bisa mendengar bisikan tersebut di tengah-tengah desir udara. Akan tetapi pikiran saya segera beralih pada putri saya. Ketika suara tangis penuh putus asa tersebut menjadi semakin jelas, saya segera meraih pergelangan tangan suami saya.

“Mama, aku tahu ini sudah larut, tapi tolong... tolong jangan katakan apa-apa sampai aku selesai bicara. Dan sebelum Mama bertanya, ya... aku jujur, aku baru saja mabuk-mabukan. Dan beberapa mil yang lalu aku hampir saja keluar dari jalan raya dan....” Ia berhenti sejenak. “Dan aku takut. Yang bisa aku pikirkan hanyalah betapa menyakitkan jika polisi datang ke rumah dan menyampaikan berita bahwa aku mati dalam kecelakaan. Aku mau... aku mau pulang ke rumah. Aku tahu bahwa lari dari rumah adalah sebuah tindakan yang salah. Seharusnya aku menelepon sejak beberapa hari yang lalu, tapi… aku takut.”

Sontak saya langsung membayangkan wajah putri saya, dan panca indera saya yang tadi masih kabur segera menjadi semakin jelas untuk mengatakan, “Aku kira....”

“Jangan! Tolong jangan potong, Ma. Biarkan aku selesai! Tolong!” Suara di ujung telepon memohon, bukan dalam nada marah, tapi lebih dalam nada keputus-asaan.

Saya berhenti dan mencoba berpikir tentang apa yang harus saya katakan. Sebelum saya mengatakan apa-apa, ia sudah melanjutkan lagi. “Aku hamil, Ma. Dan aku tahu tidak seharusnya aku mabuk-mabukan... terutama saat aku hamil, tapi aku tak tahu harus bagaimana. Aku takut, Ma.”

Suara itu terhenti lagi. Saya pun menggigit bibir, dan mulai merasakan titik air di sudut mata saya. Suami saya yang sedari tadi duduk terdiam mulai memimikkan tanya tanpa suara, “Siapa?” Saya menggelengkan kepala. Dan karena saya tidak memberikan jawaban, suami saya pergi keluar dan kembali lagi dengan telepon portable di telinganya. Terdengar suara “klik” ketika suami saya ikut menguping melalui telepon portable yang ia bawa. Suara itu juga pasti terdengar di ujung telepon sana, sebab gadis itu segera bertanya, “Mama masih di sana? Tolong jangan tutup teleponnya! Aku membutuhkan Mama. Aku merasa sangat sendiri.”

“Teruskan saja,” jawab saya. “Aku tidak akan menutup teleponnya.”

“Seharusnya aku mengatakannya pada Mama sejak dulu. Tapi, setiap kali kita bicara, Mama selalu saja memberitahukan apa yang harus aku lakukan. Mama membaca semua brosur tentang bagaimana cara membicarakan seks, tentang ini-itu, dan tentang semua hal lainnya. Tapi, apa yang Mama lakukan hanyalah bicara dan bicara. Mama tidak pernah mendengarkan aku. Mama tidak pernah membiarkan aku menyatakan perasaanku seolah-olah perasaanku itu tidak ada. Karena Mama adalah ibuku, Mama mengira memiliki semua jawaban untuk setiap masalahku. Tapi, perlu Mama tahu, kadang-kadang aku tidak membutuhkan jawaban. Ada kalanya aku hanya membutuhkan seseorang yang bersedia mendengarkan ungkapan perasaanku.”

Saya menelan liur untuk membasahi kerongkongan yang kering dan melihat brosur-brosur tentang “bagaimana cara berbicara pada anak-anak Anda” tersebar di meja rias kamar tidur.

“Kini aku bisa mengerti semua ceramah Mama tentang betapa aku tidak seharusnya mabuk-mabukan sambil menyetir mobil, jadi sebelum ini aku sudah menelepon taksi. Mama, aku mau pulang.”

“Tunggu sampai taksi datang, sayang. Jangan tutup telepon sampai taksi itu datang.”

“Baiklah, Mama.”

Saya lega ia masih di sana.

Tak lama kemudian, saya mendengar deru mesin taksi di ujung telepon, dan ia pun menutup pembicaraan kami. Barulah pada saat itu ketegangan saya bisa mereda. Ia sudah berada dalam kondisi yang aman.

Sambil menutup telepon, saya menatap suami saya dan mengatakan: “Kita harus belajar mendengarkan.”

Kemudian kami berdua beranjak ke kamar putri kami, dimana ia sedang terbaring lelap. Suami saya bertanya, “Sayang.... Menurutmu, apakah gadis malang itu akan menyadari bahwa ia sudah salah sambung?”

“Entahlah... tapi, bisa jadi ia tidak menghubungi nomor yang salah,” bisik saya.

Hmmm. Pasangan orangtua tersebut sudah mendapatkan sebuah pelajaran yang amat sangat berharga dari pengalaman orang lain yang sama sekali tidak mereka kenal. Saya percaya kita akan mendapatkan hak kita untuk bicara jika kita sudah mendengar dengan baik. Memang, suara favorit di telinga kita adalah suara kita sendiri. Dan ketika para orangtua diminta untuk mendengar, mereka justru akan berbusa membicarakan kelebihan-kelebihan yang ada pada anak-anak mereka. Sesungguhnya, sebuah motivasi akan jauh lebih efektif jika disampaikan dengan kesediaan untuk mendengar ketimbang dengan kemampuan berbicara. Mengapa? Karena seni mendengar adalah sebuah seni yang mementingkan kepedulian dan keakraban.


____________
Diambil dan diterjemahkan dari Dr. Tim Elmore, Nurturing The Leader Within Your Child, Thomas Nelson Publishers, 2001. 

(Edisi Bahasa Indonesia: Elmore, Bagaimana Mengasah & Mengukuhkan Jiwa Kepemimpinan dalam Diri Anak-anak Anda, Garailmu, Jogjakarta, Maret 2010)

baca juga:

No comments:

Post a Comment

Bantu saya memperbaiki blog ini
dengan menuliskan komentar: