Menu

Wednesday, February 16, 2011

Sultan yang Menjadi Orang Buangan (Refleksi Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW)

Sultan Mesir mengumpulkan beberapa orang terpelajar dan, seperti biasanya, segera terjadi sebuah perdebatan. Pokok masalah dalam perdebatan tersebut adalah Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Diriwayatkan bahwa pada malam suci tersebut Nabi Muhammad SAW dijemput dari tempat tidur beliau dan dibawa ke alam akhirat. Di dalam perjalanan tersebut, beliau melihat surga dan neraka, mengalami berbagai peristiwa, berkomunikasi dengan Tuhan, dan dikembalikan ke tempat tidur beliau yang masih hangat. Bahkan, guci air yang terguling saat beliau berangkat masih belum habis mengucur saat beliau kembali.


Beberapa orang berpendapat bahwa hal ini sangat mungkin terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan perhitungan waktu (antara alam ini dan alam ‘itu’). Sultan berpendapat bahwa itu tidak mungkin.

Para penasehat istana menyatakan bahwa atas kuasa Tuhan segala sesuatunya bisa saja terjadi. Pendapat ini juga tidak memuaskan keingin-tahuan Sang Sultan.


Kabar tentang perdebatan tersebut pada akhirnya sampai juga di telinga Syaikh Sufi Shahabudin, yang segera datang menghadiri majelis Sultan. Sang Sultan pun menunjukkan kerendahan hatinya pada saat Sang Syaikh menjelaskan, “Saya tidak akan menunda-nunda lagi pembuktian saya: ketahuilah bahwa kedua tafsir di atas adalah tafsir yang keliru dan saya tegaskan bahwa ada faktor-faktor yang bisa kita buktikan, dan sekaligus bisa diterima oleh ajaran kita, tanpa membuat kita terjebak dalam spekulasi yang asal-asalan atau ‘rasionalitas’ yang sempit.”


Di ruangan tersebut terdapat empat jendela. Sang Syaikh meminta seseorang untuk membuka salah satunya. Sultan melihat keluar. Nun jauh di sana, di atas gunung, tampaklah sejumlah besar pasukan yang sedang menyerang, bergerak menuruni gunung menuju istana. Sultan sangat ketakutan.

“Jangan pedulikan Yang Mulia, tidak ada apa-apa,” kata Sang Syaikh.


Ia menutup jendela tersebut dan membukanya lagi. Kali ini tak seorang prajurit pun yang tampak.

Ketika ia membuka jendela yang lain, tampak kota sedang dilalap api. Sultan menjerit panik.

“Jangan bersusah-hati, Sultan, karena sama sekali tidak ada apa-apa,” lanjut Syaikh. Ketika ia menutup dan kembali membuka jendela tersebut, tak ada api yang tampak.


Jendela ketiga yang dibuka memperlihatkan banjir besar yang menuju istana. Lagi-lagi, setelah jendela tersebut ditutup dan kembali dibuka, banjir tersebut hilang.


Pada saat jendela keempat dibuka, tampaklah taman firdaus~dan pada saat jendela ditutup dan kembali dibuka, taman tersebut itu hilang tak berbekas, sama seperti yang terjadi pada jendela-jendela sebelumnya.


Selanjutnya, Syaikh meminta seember air, dan Sultan diminta untuk memasukkan kepalanya beberapa saat. Tepat ketika Sultan melakukan hal tersebut, ia menemukan dirinya sedang terasing sendirian di sebuah pantai tak bertuan, sebuah tempat yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

Mantera ajaib Sang Syaikh telah membuat Sang Sultan terusir keluar dari istananya dalam keadaan yang murka, dan Sang Sultan bersumpah untuk membalas dendam pada Syaikh Sufi tersebut.


Di pengasingannya Sang Sultan berjumpa dengan beberapa orang penebang pohon yang mempertanyakan siapakah gerangan dirinya. Karena ia tak mungkin menjelaskan siapa dirinya yang sesungguhnya, Sang Sultan mengatakan bahwa ia adalah seorang pelaut yang terdampar. Para penebang pohon tersebut lalu memberinya beberapa potong pakaian.


Kemudian Sultan masuk ke dalam kota dan di sana ada seorang pandai besi yang melihatnya mondar-mandir tanpa tujuan. Pandai besi itupun bertanya siapa dirinya. Sang Sultan menjawab, “Saya adalah seorang pedagang yang terdampar, selamat berkat belas kasihan para penebang kayu, dan saat ini menjadi seorang gelandangan.”


Pandai besi tersebut kemudian memberitahukannya sebuah kebiasaan di negeri tersebut. Setiap pendatang baru diperkenankan untuk meminang wanita yang keluar dari rumah pemandian jika wanita tersebut menerima pinangannya. Sultan segera menuju ke rumah pemandian dan melihat seorang gadis cantik keluar. Sultan mempertanyakan apakah sang gadis sudah menikah, dan ternyata sudah. Sultan pun harus bertanya kepada perempuan berikutnya, yang kebetulan adalah seorang wanita yang jelek, dan ternyata ia pun sudah menikah. Hingga akhirnya Sultan bertemu dengan wanita keempat yang cantik bak bidadari. Wanita tersebut menyatakan bahwa ia belum menikah, akan tetapi ia tak sudi menerima pinangan Sultan sebab pakaian dan penampilannya yang amat sangat menyedihkan.


Sang Sultan termangu sendirian. Hingga tak lama berselang, seorang laki-laki berdiri di belakangnya dan berkata: “Aku dikirim untuk menemui seorang pengemis di sini. Ikutilah aku.”


Sang Sultan tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti pelayan tersebut, dan ia diajak untuk masuk ke sebuah rumah yang sangat indah.


Di salah satu kamar yang megah ia duduk selama berjam-jam, hingga akhirnya empat orang wanita cantik dan berbusana indah masuk mendahului wanita kelima yang jauh lebih cantik. Sultan mengenali wanita kelima tersebut sebagai wanita terakhir yang dipinangnya di rumah pemandian. Wanita itu menyambutnya dan menjelaskan bahwa ia sengaja untuk bersegera pulang agar dapat mempersiapkan diri menyambut kedatangannya, dan bahwa penolakannya tadi hanyalah salah satu bentuk lain dari kebiasaan negeri tersebut, yang harus dilakukan oleh semua wanita.


Berikutnya dibawalah masuk berbagai masakan yang lezat, dan jubah yang indah juga diberikan pada Sultan, sementara musik yang merdu mulai mengalun.


Sultan tinggal di sana selama tujuh tahun bersama istri barunya, hingga seluruh harta warisan wanita tersebut habis tak bersisa. Kemudian wanita itu menyatakan bahwa saat ini Sultan harus menghidupinya dan ketujuh anak laki-laki mereka.


Teringat pada pandai besi yang merupakan teman pertamanya di kota itu, Sultan pun mendatanginya untuk berkonsultasi. Karena Sultan tidak memiliki barang dagangan atau ketrampilan apapun, si pandai besi memberinya saran untuk pergi ke pasar dan menawarkan tenaga sebagai kuli.


Sepanjang hari bekerja mengangkut beban yang luar biasa berat, ia hanya mendapat sepersepuluh uang yang dibutuhkannya untuk makan sekeluarga. Hal ini membuat Sang Sultan bersedih hati.


Pada hari berikutnya, Sang Sultan berjalan-jalan ke tempat pertama kali ia terdampar tujuh tahun yang lalu. Ia melamun mengeluhkan nasibnya dan akhirnya ia memutuskan untuk berdoa. Sultan pun mulai mengambil air wudlu. Secara tiba-tiba dan ajaib, ia mendapati dirinya sudah kembali di istana, di depan setimba air, di hadapan Syaikh Sufi, dan majelisnya.




“Tujuh tahun dalam pembuangan, jahanam!” sumpah serapah Sang Sultan pada Sang Syaikh. “Tujuh tahun, berumah tangga dan menjadi kuli! Tidak takutkah Engkau pada Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan ulahmu ini?”


“Tapi itu hanya sekejap saja,” kata Sang Syaikh Sufi, “dihitung sejak Anda memasukkan kepala anda ke dalam air.”


Majelis membenarkan pernyataan Sang Syaikh.


Sang Sultan sama sekali tidak percaya satu patah kata pun. Ia segera mengeluarkan perintah agar kepala Sang Syaikh dipenggal. Mendapat firasat bahwa hal buruk akan terjadi, Sang Syaikh segera merapalkan Ilmu Al-Ghaibat: Ilmu Menghilang. Secara tiba-tiba, ia sudah berada di Damaskus, yang berjarak berhari-hari perjalanan. Dari sana ia menuliskan surat untuk Sang Sultan:


“Tujuh tahun berlalu bagi Tuan, seperti yang telah Tuan alami sendiri. Sesungguhnya itu, hanya sekejap saja, selama kepala Tuan masuk ke dalam air. Hal ini bisa terjadi dengan melatih kemampuan-kemampuan tertentu dan ini bukanlah sebuah pertanda khusus tentang apapun, kecuali hanyalah sebuah gambaran tentang apa yang bisa dan mungkin terjadi. Bukankah menurut riwayat tersebut tempat tidur Nabi masih hangat dan bukankah guci air yang tumpah belum lagi kosong?


“Yang terpenting bukanlah apakah peristiwa itu benar-benar terjadi atau apakah faktornya. Tuan, peristiwa apapun mungkin saja terjadi. Yang terpenting adalah makna dari peristiwa tersebut. Dalam kasus keterasingan Tuan, sama sekali tidak ada makna apa-apa. Sementara dalam Mi’raj Nabi, terdapat makna yang amat sangat penting.”

[Diterjemahkan dari bagian pembuka Bab 4 dari buku Robert E. Ornstein, The Psychology of Consciousness: Revised Edition, Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977, yang menyadur Idries Shah, Tales of the Dervishes, New York: E. P. Dutton, 1970, hal. 35-38. Dan gambar ini juga diambil dari ilustrasi bagian pembuka Bab 4 tersebut.]

No comments:

Post a Comment

Bantu saya memperbaiki blog ini
dengan menuliskan komentar: