Menu

Monday, June 27, 2011

Acara tahlilan itu bid’ah? Ah yang bener aja!

sumber: goggle.com
Sebelum penyusun melanjutkan lebih jauh, izinkan penyusun yang belum memiliki ilmu walau seujung kuku ini mengungkapkan motivasi di balik upaya penyusunan catatan kecil ini.

Sebagai seorang aktifis jejaring sosial—utamanya facebook—yang dengan senang hati bersedia ikut merayakan euforia cyber-silaturrahim yang sedang melanda, penyusun yakin bahwa sebagian dari kita sesama pemilik akun jejaring sosial tentu berharap bisa mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dari teknologi yang satu ini. :)



Kendati demikian, tak jarang pula penyusun menjumpai kenyataan bahwa jejaring sosial kerap dipergunakan oleh sebagian kelompok sebagai wadah untuk menyerang kelompok lain. Memang, ini bisa dianggap sebagai sebuah hal yang sah-sah saja. Akan tetapi, entah mengapa, tatkala penyusun menemukan beberapa grup tertentu di facebook yang dimanfaatkan oleh sebagian kalangan untuk membid’ahkan hal-hal tertentu yang sudah berlaku secara umum di masyarakat nyata kita—dalam hal ini acara tahlilan—penyusun tergerak untuk ikut mempelajarinya lebih jauh. Dan, hasilnya, lahirlah catatan dengan judul yang sedikit menggelikan yang sekarang ada di hadapan teman-teman. :D


Baiklah. It’s time to be a little more serious now! :P


Sebagaimana yang telah penyusun singgung tadi, penyusun merasakan adanya dorongan untuk mempelajari persoalan bid’ah-tidaknya acara tahlilan ini ‘sedikit saja’ lebih jauh—sempat terpikir untuk menuliskan ‘selangkah’ tapi penyusun tidak yakin kalau catatan ini bisa mencapai kadar tersebut. T_T


Di salah satu bagian proses belajar tersebut tadi, penyusun dihadapkan pada buku Tarjamah Jamiush Shaghir karya K.H. Misbach. Dan, tak lama setelah membolak-balik halaman Tarjamah Jamiush Shaghir tersebut, penyusun menemukan halaman 26 yang membahas tentang bid’ah!


Jadi, mulai di bagian ini, izinkan penyusun menuliskan bahwa menurut para ulama, bid’ah adalah semua perilaku atau ibadah atau itikad yang tidak berlaku pada zaman Nabi SAW dan tidak berlaku pada zaman sahabat Nabi SAW. Singkatnya, bid’ah adalah lawan dari sunnah Nabi SAW. Lebih lanjut, para ulama fuqaha menjelaskan bahwa ada lima macam bid’ah.

1. Bid’ah wajibah, seperti belajar ilmu nahwu dan berbagai ilmu lain yang dibutuhkan dalam memahami dan memahamkan ajaran agama Allah.
2. Bid’ah muharramah, seperti itikadnya kaum Qadariyyah yang mengatakan bahwa amal perbuatan yang diusahakan manusia itu murni atas kekuasaan manusia itu sendiri, dan Allah sama sekali tidak ikut campur.
3. Bid’ah mandubah, seperti mendirikan pondok-pondok pesantren, madrasah-madrasah, dan lain-lain.
4. Bid’ah makruhah, seperti menghias masjid, merobek mushaf dan lain-lain.
5. Bid’ah mubahah, seperti makan dengan garpu, macam-macam pakaian, menghias toko supaya banyak pembeli dan lain-lain.[i]

Teman-teman bisa membacanya sendiri lebih lanjut—walau penyusun yakin tidak sedikit dari teman-teman yang sudah hafal tentang apa yang dibahas di sana dalam bahasa aslinya!—namun, kembali penyusun meminta izin untuk mencoretkan pemahaman yang bisa penyusun simpulkan di catatan kecil ini.

Sesungguhnya, tidak banyak yang akan penyusun tuliskan. Hanya beberapa salinan hadits saja yang saya ambil dari riwayat duo Bukhari-Muslim.


Hadits pertama yang saya salinkan untuk teman-teman di sini adalah hadits nomor 539 dalam riwayat Bukhari-Muslim.


Bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dunia mendadak dan tidak sempat berwasiat. Tetapi aku menduga seandainya ia dapat berbicara (dan berwasiat), tentu ia akan bersedekah. Apakah ia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya?” Rasulullah SAW bersabda: “Ya.” [HR. Bukhari dan Muslim]



Dari hadits ini terdapat dalil, sepemahaman penyusun, bahwa kita yang masih hidup ‘diizinkan’—atau lebih tepatnya ‘disunnahkan’—untuk melakukan kebajikan sedekah atas nama orang yang sudah meninggal. Ini baru satu poin dari beberapa poin yang akan menjadikan pemahaman yang lebih baik bagi kita tentang bid’ah atau tidaknya acara tahlilan itu. Dengan kata lain, sedekah atas nama orang yang sudah meninggal itu bukan bid’ah! Setegas itu.

Selanjutnya penyusun salinkan hadits kedua yaitu hadits riwayat Bukhari dan Muslim dengan nomor 541.


Rasulullah SAW bersabda: “Setiap ruas tulang manusia wajib bersedekah setiap hari, di mana matahari terbit.” Selanjutnya beliau bersabda: “Berlaku adil antara dua orang adalah sedekah, membantu seseorang (yang kesulitan menaikkan barang) pada hewan tunggangannya, lalu ia menaikkannya ke atas punggung hewan tunggangan tersebut atau mengangkatkan barang-barangnya adalah sedekah.” Rasulullah SAW juga bersabda: “Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah yang dikerahkan menuju shalat adalah sedekah dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.” [HR. Bukhari dan Muslim]



Ini adalah dalil yang salah satunya, menurut penyusun, menegaskan bahwa ‘perkataan yang baik adalah sedekah’. Seperti apakah ‘kalimah thoyyibah adalah sedekah’ yang dimaksud di sana?

Mungkin hadits ketiga yang penyusun salinkan dari hadits riwayat Bukhari-Muslim nomor 317 bisa menjawab pertanyaan tadi.



Bahwa fakir miskin Muhajirin datang menemui Rasulullah SAW dan berkata: “Orang-orang kaya telah pergi dengan derajat yang tinggi dan nikmat yang kekal.” Rasulullah bertanya: “Apa itu gerangan?” Mereka menjawab: “Mereka shalat seperti kami shalat, mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Tetapi mereka bersedekah sedang kami tidak sanggup, mereka mampu memerdekakan budak sementara kami tidak mampu.” Rasulullah SAW bersabda: “Maukah kalian aku ajarkan sesuatu yang dapat membuat kalian mengejar (derajat) orang-orang yang mendahului kalian dan yang dapat membuat kalian mendahului (derajat) orang-orang yang sesudah kalian? (Sehingga) tidak ada seorangpun di antara kalian yang lebih utama kecuali ia melakukan seperti apa yang kalian lakukan?” Mereka menjawab: “Tentu ya Rasulullah.” Rasulullah SAW bersabda: “Kalian membaca tasbih, takbir, dan tahmid setiap selesai shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.” [HR. Bukhari dan Muslim]


Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW menganjurkan orang-orang fakir miskin muhajirin untuk bertasbih, bertakbir dan bertahmid di saat mereka ingin menandingi pahala sedekah orang-orang berada. Menurut penyusun, tentulah tasbih, takbir dan tahmid merupakan bagian dari ‘perkataan baik atau kalimah thoyyibah adalah sedekah’ sebagaimana yang disinggung dalam hadits 541 di atas.



Akhirnya, penyusun menyalinkan hadits riwayat Bukhari Muslim nomor 1548 sebagai hadits keempat dalam catatan kecil ini.



Dari Nabi SAW, beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Memberkahi lagi Maha Tinggi memiliki banyak malaikat yang selalu mengadakan perjalanan (dalam jumlah) yang melebihi jumlah malaikat pencatat amal, dan mereka senantiasa mencari majelis-majelis zikir. Apabila mereka mendapati satu majelis zikir, maka mereka akan ikut duduk bersama mereka dan mengelilingi majelis tersebut dengan sayap-sayap mereka hingga memenuhi jarak antara mereka dengan langit dunia. Apabila para peserta majelis telah berpencar, para malaikat itupun naik menuju langit. Rasulullah melanjutkan, lalu Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung bertanya kepada para malaikat tersebut, padahal Dia lebih mengetahui dari pada mereka: “Dari manakah kamu sekalian?” Mereka menjawab: “Kami datang dari tempat hamba-hamba-Mu di dunia yang sedang mensucikan, mengagungkan, membesarkan, memuji, dan memohon kepada Engkau.” Allah bertanya lagi: “Apa yang mereka mohonkan kepada-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Mereka memohon surga-Mu.” Allah bertanya lagi: “Apakah mereka sudah pernah melihat surga-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Belum wahai Rabb kami.” Allah berfirman: “Apalagi jika seandainya mereka pernah melihat surga-Ku?” Para malaikat itu berkata lagi: “Mereka juga memohon perlindungan kepada-Mu.” Allah bertanya: “Dari apakah mereka memohon perlindungan-Ku?” Para malaikat menjawab: “Dari neraka-Mu, wahai Rabb kami.” Allah bertanya: “Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?” Para malaikat menjawab: “Belum.” Allah berfirman: “Apalagi jika seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku?” Para malaikat itu melanjutkan: “Dan mereka juga memohon ampunan dari-Mu wahai Rabb kami.” Allah berfirman: “Aku sudah mengampuni mereka dan sudah memberikan apa yang mereka minta dan aku juga telah memberikan perlindungan kepada mereka dari apa yang mereka takutkan.” Rasulullah melanjutkan lagi lalu para malaikat itu berkata: “Wahai Rabb kami! Di antara mereka terdapat si Fulan yaitu seorang yang penuh dosa yang kebetulan lewat lalu mampir duduk untuk ikut berzikir bersama mereka.” Rasulullah melanjutkan bahwa Allah menjawab: “Aku juga telah mengampuni si Fulan karena mereka adalah kaum yang tidak akan sengsara orang yang ikut duduk bersama mereka.” [HR. Bukhari dan Muslim]



Hadits ini menjelaskan, menurut penyusun, bahwa berzikir bersama-sama itu adalah sunnah yang sangat dianjurkan.

Jadi, menurut penyusun, berkumpul untuk berzikir bersama-sama dengan melafalkan kalimah thoyyibah semisal tasbih, takbir dan tahmid, dengan niat bersedekah kepada orang yang sudah meninggal sama sekali bukan bid’ah. WaLlahu a’lam.


Ada sekitar 1700 hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Pertanyaan saya, sudah berapa banyak diantaranya yang kita hafal? Pengakuan penyusun, masih bisa dihitung jari sebelah tangan.



Semoga catatan kecil ini bisa menambah wawasan kita semua, khususnya bagi diri penyusun pribadi. Aamiiin.





[i] Sumber: K.H. Misbach, Tarjamah Jamiush Shaghir, Mutiara Ilmu Surabaya, tanpa tahun.

lihat juga:


2 comments:

  1. وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ ۖ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

    "Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati." [QS. al-Mulk:13]

    http://www.quran.com/67/13

    kalo gak salah, asbab nuzul ayat ini karena orang2 musyrikin saling mengingatkan sesama mereka bahwa, "Rahasiakan perkataan kalian agar tidak terdengar oleh Muhammad... :)

    waLlahu a'lam...

    ReplyDelete

Bantu saya memperbaiki blog ini
dengan menuliskan komentar: