dari status seorang teman, Indi Andi Satiri-ias
.orang-orang
masih menghormati
dan memuliakan kita..
hal itu terjadi..
bukan lantaran
kita hebat..
bukan..!!
sama sekali..
bukan..!!
tetapi,
karena Tuhan
masih menutupi aib kita..
- - - - - - - - -
betapa hancur
dan malunya kita
bila aib kita dibeberkan..
sangat mudah bagiNya, bukan..?!
- - - - - - - - -
mari saling menutupi
aib sesama..
hentikan gosip..
Gus Rifqi Ali memimpin pujian mahallul qiyam di Sleman
Diriwayatkan bahwa pada awal-awal kenabian Rasulullah SAW, ada seorang
penyair Quraisy bernama Kaab bin Zuhayr (penulisan nama ini murni hanya
bersandar pada pendengaran saya--red) yang sangat membenci Rasulullah
SAW hingga ia menuliskan banyak sekali syair yang menghujat Baginda
Rasulullah SAW. Pada masa itu, syair dianggap lebih tajam dari
pedang--artinya, jika seseorang sudah menghujat orang lain melalui syair, maka orang tersebut siap mati demi hujatannya.
.ada sebuah doa
yang seminggu sekali
kita panjatkan bersama
saat upacara bendera..
"ya Allah, ya Tuhan kami
jauhkanlah kami
dari jiwa yang tidak tenang
dan dari hati
yang tidak khusyu'
(layu, kering dan tidak tunduk..)
bertahun-tahun
doa itu kita panjatkan
dan kita aminkan bersama-sama..
tapi, kenapa masih ada
selimut kabut resah gelisah
binti gundah gulana
bin galau..???
Para sahabat
sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah hasanah
atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda
Rasulullah SAW:
Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)
Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum dalam syariat. Di antara bid'ah terpuji itu adalah:
a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika
mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah.
Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat
tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".
Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan
Sayyidina Umar ibn Khattab "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" mengatakan:
"Pada mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki
contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata
dari sunnah. Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya,
jika bid'ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang
terpuji. Sebaliknya, jika bidطah itu bertentangan dengan syariat, maka
ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka
hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum
bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".
b. Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas
usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.
Dengan demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan
pendapat yang keliru. Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada
yang jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan
atau dibenci (makruh).
Ada juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat.
Jika bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan
Umar sebagaimana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan
haram. Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat
tersebut.
c. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi
dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-nya
bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak.
Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan
iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar
Madinah.
Jika demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina
Utsman ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh
sahabat sebagai orang yang berbuat bid'ah dan sesat? Apakah para sahabat
yang menyetujuinya juga dianggap pelaku bid'ah dan sesat?
Di antara contoh bid'ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud
berjamaah pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah,
mengkhatamkan Al-Qur'an dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua
perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad
SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi
perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama.
Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti
mengingat Allah dan hal-hal mubah.
Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid'ah
adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima
pembukuan Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih
berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta
menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-orang yang berbuat
bid'ah dan sesat.
Dr. Oemar Abdallah Kemel Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
Dari karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah"yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?"
Enam kiat sukses dalam menghadapi tantangan hidup berdasarkan pada QS. al-Anfal ayat 45-47:
1. Meneguhkan hati,
2. Memperbanyak zikir kepada Allah,
3. Ta'at pada Allah dan Rasul-Nya,
4. Menjaga kesatuan dan persatuan,
5. Bersabar, dan
6. Hanya mengharap ridla Allah.
Para jamaah haji tentu tahu jika berdoa di raudlah dicap 'haram' oleh
askar2 yang bertugas di Masjid Nabawi. Namun, saya punya pengalaman
menarik tentang hal ini. Saya pernah dua kali diminta Gus Rifqi Ali Maksum Krapyak Jogjakarta
(akrab pula disapa dengan nama Gus Kelik--red) untuk menemani beliau ke makam Rasulullah SAW.
Jika benar Islam agama toleran, mengapa masih ada sebagian dari umatnya yang melakukan kekerasan? Jika Islam menjamin kebebasan beragama, mengapa masih ada umat Muslim yang melakukan serangan terhadap gereja? Jika benar Islam membawa rahmat bagi semua, mengapa masih ada sebagian fraksi Muslim yang melakukan bom bunuh diri? Betulkah ayat-ayat toleransi dalam Al-Quran sudah dihapus hukumnya dan tidak berlaku lagi, karena sudah diganti dengan ayat-ayat perang? Apakah toleransi selaras dengan Islam itu sendiri? Atau, jangan-jangan toleransi hanyalah konsep asing yang diekspor peradaban Barat yang sekuler dan liberal?
Buku ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dan banyak pertanyaan lainnya, dengan berupaya untuk tidak terjebak pada Islamophobia yang condong menjelek-jelekkan Islam, pada Islamophilia yang cenderung membaik-baikkan citra Islam, atau pada westophobia yang secara emosional mencaki-maki Barat. Di satu sisi, ia menyuguhkan elemen-elemen toleransi dalam tradisi pemikiran Islam dan, di sisi lain tanpa ragu menguak elemen-elemen intoleran yang terkandung di dalamnya.
Ditulis oleh Irwan Masduqi—alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Jurusan Ilmu Tafsir, yang lama mondok di pesantren terkemuka—, buku ini menawarkan konsep toleransi Islam menurut perspektif 15 pemikir kontemporer dunia, Muslim dan non-Muslim, karena ide-ide toleran mereka patut diapresiasi dan diwacanakan di Indonesia sebagai basis teologi kerukunan antarumat beragama. Inilah ikhtiar tulus yang didasari niat untuk membuka keimanan yang tertutup, dalam rangka mewujudkan koeksistensi: kesadaran untuk hidup berdampingan secara damai dan harmonis di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang beragam.
Komentar-komentar:
Buku
“Berislam Secara Toleran” karya Irwan Masduqi ini sangat tepat waktu dan
perlu dibaca. Di tengah gejala meningkatnya intoleransi, pemikiran
tentang toleransi pastilah perlu diperkuat. Karya ini penting untuk
penguatan kehidupan umat beragama yang lebih toleran, rukun dan damai.
(Prof. Dr. Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta)
Islam adalah agama yang percaya diri sekalipun umatnya belum tentu
demikian. Maka, menjadi logis bahwa Islam dapat bersikap toleran
terhadap agama-agama lain, bahkan terhadap paham ateis sekalipun. Buku
ini pantas diapresiasi karena mengusung spirit toleransi di
tengah-tengah maraknya kekerasan atas nama agama di Indonesia.
(Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah)
Dalam setiap situasi aktual manusia, di mana intoleransi mengancam
koeksistensi, banyak orang bertanya: “Jika agama melegitimasi teror,
maka apakah ia masih diperlukan?” Irwan Masduqi, santri-intelek
berbakat, melalui buku ini mengurai kekusutan dan kesalahpahaman
mengenainya dengan cerdas, kritis dan mencerahkan. Buku ini patut dibaca
masyarakat luas terutama otoritas politik di negeri ini.
(KH Husein Muhammad, pendiri Fahmina Institute)
Dalam buku “Berislam secara Toleran” ini, Irwan Masduqi menyeret kita
memasuki arena pergumulan Islam tentang toleransi. Salah satu pertanyaan
menarik adalah: Apakah toleransi itu berdasarkan nilai Barat atau bahwa
ia inheren dalam Islam? Argumentasi Irwan sangat menarik ketika ia
menyibaknya dari sudut filsafat, kepentingan politik, dan interpretasi
kitab suci. Kita jadi sadar bahwa toleransi tidak hadir dalam ruang
kosong. Ia adalah sebuah pencarian dan perjuangan bersama terus-menerus
di sepanjang sejarah manusia.
(Pdt. Albertus Patty, Koordinator Komisi Teologi Persatuan Gereja Indonesia)
Buku yang ditulis oleh Irwan Masduqi—seorang
lulusan Al-Azhar, Mesir, Jurusan Ilmu Tafsir—ini, yang berjudul
“Berislam Secara Toleran”, merupakan sebuah wacana progresif yang sangat
menarik, karena ditulis oleh seorang yang memiliki otoritas ilmu-ilmu
keagamaan serta berlatar belakang pendidikan pesantren di Indonesia.
(Prof. Dr. Dawam Rahardjo, cendekiawan Muslim Indonesia)
Buku ini berangkat dari niat yang sangat positif dalam ikut serta
membangun karakter manusia yang berpikiran dewasa dan matang sehingga
mampu menghargai perbedaan yang merupakan fitrah manusia. Perbedaan
tidak didekati dengan permusuhan tetapi dicari kekuatan untuk membangun
dan memperkaya konsolidasi bersama.
(Gusti Joyokusumo, adik Sri Sultan Hamengku Buwono X dan pengusung ide Yogyakarta sebagai city of tolerance)
[Seminar Nasional Pengembangan Model Pembelajaran
Sastra yang Komunikatif dan Kreatif, Universitas Negeri Semarang, Ahad,
7 Juni 2009]
Sekolah saya berpindah-pindah, sejak Sekolah Rakjat
(sekarang SD) sampai dengan SMA. SR saya di Solo, Semarang, Salatiga,
Yogya,
SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, Pekalongan dan Whitefish Bay,
Wisconsin.
Pertumbuhan diri saya berlangsung di delapan kota itu, dan masing-masing
kota
itu memberi kenangan indah tersendiri.
Kedua orangtua
saya guru di Pekalongan di masa penjajahan Belanda. Mulai zaman
pendudukan
Jepang ayah saya jadi wartawan di Semarang, di harian Sinar Baroe
(belakangan
menjadi Suara Merdeka). Saya belajar di Sekolah Rakjat Indonesia di
Bergota,
rumah kami di Redjosari Gang I nomor 6. Ayah dan ibu suka membaca.
Lemari buku
ayah saya besar. Biasanya sekali sebulan saya dibawa ke toko buku di
Pasar
Djohar, dibonceng naik sepeda. Ikut ayah yang membeli buku, saya boleh
memilih
dua buku untuk dibawa pulang. Pada umur masih kecil begitu saya sudah
mulai
membaca roman Tak Putus Dirundung Malang, karya St. Takdir Alisjahbana.
Ketika masih
pelajar SMP Negeri 1 di Bukittinggi, dan SMA Negeri Pekalongan pada
tahun
1950-an, di kedua sekolah saya itu tidak ada perpustakaan. Karena suka
membaca,
saya jadi anggota Perpustakaan Kota, di Bukittinggi di Jalan Lurus, di
Pekalongan di Kali Loji. Kedua-duanya dekat dari sekolah.
Sangat
kebetulan, ketika di Pekalongan, Djawatan Pendidikan Masjarakat
memberikan
kepercayaan kepada beberapa LSM, untuk masing-masing mengelola sebuah
perpustakaan kecil. Kepada Peladjar Islam Indonesia, diserahkan kl 300
judul
buku. Karena beranda rumah orangtua saya besar di Djalan Kedjaksan 52,
PII
menaruhnya di sana dalam sebuah lemari. Saya dan S.N. Ratmana mengelola
perpustakaan yang dibuka sehari seminggu, tiap hari Ahad pagi sampai
sore itu.
Kawan-kawan di
sekolah yang suka membaca, datang meminjam buku. Favorit saya buku-buku
petualangan Winnetou karangan Karl May. Lalu puisi Amir Hamzah, Chairil
Anwar,
Sitor Situmorang, cerpen Idrus, Pramudya Ananta Tur, antologi Gema Tanah
Air
H.B. Jassin, novel Hamka, Takdir Alisjahbana, Abdul Muis, dan
seterusnya. Puisi
Dunia, terjemahan Taslim Ali, 2 jilid sangat saya sukai.
Karena kunci
lemari buku saya yang memegang, dan lemari itu terletak di beranda
rumah, saya
leluasa betul membaca buku dari hari Senin sampai Sabtu. Saya membaca
agak
sembarangan. Misalnya tuntunan bertanam anggrek Sutan Sanif dan prosedur
mengecor beton bertulang Prof. Rooseno pun saya baca. Buku Pak Rooseno
yang
merupakan buku teks mahasiswa fakultas teknik itu saya bawa-bawa ke
sekolah,
dilagak-lagakkan kepada teman-teman. Mereka heran. “Kau baca buku itu?”
“Ya.”
“Tamat?” “Ya.” “Apa isinya?” “’Nggak ‘ngerti.” Mereka pun batal, tak
jadi
kagum.
Beberapa kawan
yang gemar membaca ini terdorong pula menulis. Kami penggemar majalah
Mimbar
Indonesia dan Kisah, yang memuat sajak dan cerpen. Pak H.B. Jassin duduk
sebagai redaktur sastra di kedua majalah tersebut. Kami berlomba-lomba
mengirim
karangan ke sana. Lima orang berhasil menembus kedua majalah itu. Muhsin
Djalaludin Zuhdy (sajak), Hadi Utomo (cerpen), Sukamto A.G. (sajak),
S.N. Ratmana
(cerpen) dan saya (sajak). Yang bertahan terus menulis sampai sekarang
adalah
dua orang yang terakhir ini.
Pada masa
bersamaan Ajip Rosidi (Jakarta), W.S. Rendra (Solo), Motinggo Busye
(Bukittinggi), Alwi Dahlan (Bukittinggi), Suwardi Idris (Bukittinggi),
Nh. Dini
(Semarang), S.M. Ardan (Jakarta) juga mulai menulis ketika masih jadi
pelajar
SMA. Bahkan Ajip dan Busye sudah mencuri start ketika masih di SMP.
Kami menulis
karena dirangsang bacaan. Buku dan majalah memberi stimulasi besar untuk
mengarang.
Buku yang kami baca tidak dari perpustakaan sekolah. Karangan yang kami
tulis
bukan karena dibimbing guru mengarang di kelas bahasa. Guru Bahasa
Indonesia
saya di SMA Pekalongan lebih mengajarkan tatabahasa dan tak ada
perhatian pada
pelajaran mengarang. Kami kebetulan saja senang perpustakaan. Kebetulan
pula
bersaing-saing sesama teman, sehingga berlatih menulis sendiri tanpa
dibimbing
guru.
Beratus-ribu
tamatan SMA Indonesia sejak pengakuan kedaulatan 1950 sampai sekarang
menjadi
Generasi Nol Buku, yang rabun membaca dan lumpuh menulis. Nol Buku
karena tidak
mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah, sehingga rabun
membaca.
Lumpuh menulis karena hampir tak ada latihan mengarang di sekolah.
MEMBANDING
DENGAN NEGARA-NEGARA LAIN
Antara
Juli-Oktober 1997 saya melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan
SMA 13
negara. Saya bertanya tentang 1) kewajiban membaca buku, 2) tersedianya
buku
wajib di perpustakaan sekolah, 3) bimbingan menulis dan 4) pengajaran
sastra di
tempat mereka. Berikut ini tabel jumlah buku sastra yang wajib dibaca
selama di
SMA bersangkutan (3 atau 4 tahun), yang tercantum di kurikulum,
disediakan di
perpustakaan sekolah, dibaca tamat lalu siswa menulis mengenainya, dan
diuji:
Buku Sastra
Wajib di SMA 13 Negara
Tabel 1
NO
ASAL SEKOLAH
BUKU WAJIB
NAMA SMA / KOTA
TAHUN
1
SMA Thailand Selatan
5 judul
Narathiwat
1986-1991
2
SMA Malaysia
6 judul
Kuala Kangsar
1976-1980
3
SMA Singapura
6 judul
Stamford College
1982-1983
4
SMA Brunei Darussalam
7 judul
SM Melayu I
1966-1969
5
SMA Rusia Sovyet
12 judul
Uva
1980-an
6
SMA Kanada
13 judul
Canterbury
1992-1994
7
SMA Jepang
15 judul
Urawa
1969-1972
8
SMA Internasional, Swiss
15 judul
Jenewa
1991-1994
9
SMA Jerman Barat
22 judul
Wanne-Eickel
1966-1975
10
SMA Perancis
30 judul
Pontoise
1967-1970
11
SMA Belanda
30 judul
Middleburg
1970-1973
12
SMA Amerika Serikat
32 judul
Forest Hills
1987-1989
13
AMS Hindia Belanda-A
25 judul
Yogyakarta
1939-1942
AMS Hindia Belanda-B
15 judul
Malang
1929-1932
SMA Indonesia
0 judul
Di Mana Saja
1943-2008
Catatan: Angka
di atas hanya berlaku untuk SMA responden (bukan nasional), dan pada
tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tapi sebagai
pemotretan
sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan
bersama.
Apabila buku sastra 1) tak disebut di kurikulum, 2) dibaca cuma
ringkasannya,
3) siswa tak menulis mengenainya, 4) tidak ada di perpustakaan sekolah,
dan 5)
tidak diujikan, dianggap nol. Angka nol buku untuk SMA Indonesia sudah
berlaku
65 tahun lamanya, dengan kekecualian luarbiasa sedikit pada beberapa SMA
tertentu saja.
Bila siswa AMS
Hindia Belanda wajib membaca buku 25 judul dalam masa 3 tahun,
bagaimanakah
wajib menulis mereka?
Siswa AMS wajib
menulis 1 karangan seminggu. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi
angka,
minggu depannya satu karangan lagi, minggu depannya satu karangan lagi.
Panjang
karangan satu halaman. Jumlahnya 18 karangan satu semester, 36
karangan
setahun, 108 karangan 3 tahun.
Menurut
observasi saya pada beberapa SMA, kewajiban mengarang berlangsung 3-5
kali
setahun. Banyak SMA yang cuma sekali setahun, mirip sholat Idulfitri.
Jadi
dalam 3 tahun paling banyak 15 karangan. Dibanding dengan AMS, jatuhnya
serendah 5,2 %. Tabel berikutnya:
Tabel 2
No
SEKOLAH MENENGAH ATAS
WAJIB BACA BUKU (TIGA TAHUN)
WAJIB MENULIS KARANGAN (TIGA
TAHUN)
1
HINDIA BELANDA
25 JUDUL BUKU
108 KARANGAN
2
REPUBLIK INDONESIA
NOL BUKU
3 – 15 KARANGAN
Tabel 3
TUGAS MENULIS SISWA AMS HINDIA
BELANDA
TUGAS MENULIS SISWA MALAYSIA
(SMA KOLEJ MELAYU)
TUGAS MEMBACA BUKU SISWA SMA
AMERIKA SERIKAT
1 KARANGAN / MINGGU
14 HALAMAN KETIK / MINGGU
44 HALAMAN / MINGGU
36 KARANGAN / TAHUN
504 HALAMAN KETIK / TAHUN
1584 HALAMAN / TAHUN
108 KARANGAN / 3 TAHUN
2016 HALAMAN KETIK / 4 TAHUN
6336 HALAMAN / 4 TAHUN
Tabel 4
PERBANDINGAN
LIMA KOMPONEN kelas 9 – 12 (S MA AS 4 tahun), di 1210 SMA, 1989
1
SASTRA
50 %
2
MENGARANG
28 %
3
TATABAHASA
10 %
4
BICARA
9 %
5
LAIN-LAIN
3 %
(Arthur
Applebee, Literature in the Secondary Schools -- Studies of Curriculum
and
Instruction in the United States, National Council of Teachers of
English,
Urbana, Illinois, 1993. Angka-angka merupakan hasil penelitian Applebee
di 1210
SMA, 1989).
BILAKAH
MUSIBAH BESAR NOL BUKU & 15 KARANGAN, YANG DULU 25 BUKU & 108
KARANGAN
ITU BERMULANYA?
Tragedi Nol Buku
ini berlangsung pada awal 1950. Ketika seluruh aparat pemerintahan sudah
sepenuhnya di tangan sendiri, demi mengejar ketertinggalan sebagai bekas
negara
jajahan, yang mesti membangun jalan raya, bangunan, rumah sakit,
jembatan,
pertanian, perkebunan, kesehatan, perekonomian, maka yang diunggulkan
dan
disanjung adalah jurusan eksakta (teknik, kedokteran, pertanian,
farmasi),
ekonomi dan hukum.
Wajib baca 25
buku sastra dan bimbingan menulis digunting habis,
karena dipandang tidak perlu. Ini kesalahan peradaban luar biasa besar.
Ketika
saya perlihatkan hasil observasi (dalam tabel) itu kepada Menteri
Wardiman
Djojonegoro (1997), beliau terkejut. “Sudah demikian burukkah
keadaannya?”
tanyanya. “Ya,” jawab saya.
APA TUJUAN
MEMBACA 25 BUKU DAN MENULIS 108 KARANGAN?
Kedua kewajiban
itu tidak bertujuan menjadikan siswa sastrawan. Tidak. Kemampuan membaca
dan
menulis diperlukan di setiap profesi. Membaca buku sastra mengasah dan
menumbuhkan budaya baca buku secara umum. Latihan menulis mempersiapkan
orang
mampu menulis di bidangnya masing-masing.
Seorang Anak
Baru Gede dari Padang pada tahun 1919 masuk sekolah SMA dagang menengah
Prins
Hendrik School di Batavia. Wajib baca buku sastra menyebabkannya
ketagihan
membaca, tapi dia lebih suka ekonomi. Dia melangkah ke samping, lalu
jadi
ekonom dan ahli koperasi. Namanya Hatta. Seorang siswa yang sebaya dia,
di AMS
Surabaya, juga adiksi buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari
buku.
Tapi dia lebih suka ilmu politik, sosial dan nasionalisme. Insinyur
teknik ini
melangkah ke samping dan jadi politikus. Namanya Soekarno.
Sastra
menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai siswa
jadi
dewasa. Rosihan Anwar (kini 87) tetap membaca 2 buku seminggu. Buku apa
saja.
“Jiwa saya merasa dahaga kalau saya tak baca buku,” kata beliau.
Demikianlah
rasa adiksi yang positif itu bertahan lebih dari setengah abad, bahkan
seumur
hidup.
Latihan menulis
108 karangan membekali Hatta, Sukarno, Muhammad Natsir, Sjahrir, Haji
Agus
Salim, Muhammad Yamin, Tan Malaka dan kawan-kawan seangkatan mereka
menulis
buku di bidang masing-masing. Yamin jadi sastrawan, tapi juga penulis
sejarah.
Tragedi Nol Buku
ini, yang sudah berlangsung 65 tahun lamanya, dengan mudah dapat
dijelaskan
kini akibatnya. Tamatan SMA Nol Buku sejak 1950 (saya tak sempat
menghitung
dengan teliti tapi pastilah meliputi beberapa juta orang), dengan
rentang umur
antara 35 – 70 tahun, mereka inilah yang kini jadi warga Indonesia
terpelajar
serta memegang posisi menentukan arah negara hari ini di seluruh strata,
pemerintah dan swasta. Beberapa sebab mendasar amburadulnya Indonesia
sekarang,
mungkin sekali karena dalam fase pertumbuhan intelektual mereka,
orang-orang
itu membaca nol buku di sekolah.
Mereka
Generasi Nol Buku. Kita Generasi Nol
Buku. Generasi
yang Rabun Membaca dan Pincang Menulis. Kalau pun ada sebagian kecil
dari
kita yang banyak membaca dan mampu menulis, pasti itu dilakukan dengan
ikhtiar
sendiri di luar ruang sekolah (bukan dibimbing oleh sebuah sistem
pendidikan
nasional) atau karena beruntung mendapat kesempatan belajar ke luar
negeri.
DENGAN SANGAT
SEDIKIT KEKECUALIAN, KITA SEMUA BERBEKAL NOL BUKU KETIKA BERSEKOLAH,
TIDAK
MENDAPAT KESEMPATAN UNTUK DITANAMKAN RASA KETAGIHAN MEMBACA BUKU,
KECINTAAN
PADA BUKU, KEINGINAN BERTANYA KEPADA BUKU DALAM SEMUA ASPEK KEHIDUPAN
DAN KEBIASAAN
MENGUNJUNGI PERPUSTAKAAN SEBAGAI TEMPAT MERUJUK SUMBER ILMU, DAN
KONSEKWENSINYA
MEMBIASAKAN MENULIS SEBAGAI EKSPRESI PERASAAN SERTA PERNYATAAN
KECENDEKIAAN.
Agaknya kita
mengabaikan firman Allah paling awal yang diturunkan ke bumi, yaitu
Kata
paling nomor satu berupa
perintah membaca
kepada seluruh ummat manusia,
dan mengajarkan
penggunaan pena untuk menulis.
Kita tidak cerdas
menafsirkannya dan kita sangat terlambat di Indonesia memperbaikinya.
Dalam mendiskusikan
pengajaran sastra yang apresiatif dan kreatif, sebagaimana tujuan
majelis
kita ini, maka mari kita perbaiki bersama pengajaran membaca dan
menulis di
lembaga pendidikan kita, sejak dari SD, SMP, SMA sampai perguruan
tinggi.
CARA PANDANG
(PARADIGMA) BARU DALAM MENGAJARKAN SASTRA
Untuk meletakkan
dasar yang kuat suatu program kegiatan mengatasi keterbelakangan kita,
maka
tentulah lebih dahulu ditetapkan cara pandang, paradigma baru sebagai
acuan
dalam membantu memperbaiki pengajaran membaca, mengarang dan apresiasi
sastra
di SMA kita. Ko-insidensi sangat menguntungkan yang terjadi adalah
gelombang
reformasi 1998, yang melepaskan Indonesia dari monolithisme politik 39
tahun
Orde Lama dan Orde Baru, sehingga terbuka luaslah peluang bagi paradigma
ini,
yang tidak akan mungkin terbuka di kedua Orde terdahulu tersebut:
1. Siswa
dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat dan gembira.
Pendekatannya
bukan pendekatan keilmuan seperti memahami fisika, dan juga bukan
pendekatan
penghafalan seperti penghafalan tahun-tahun sejarah. Kita harus mampu
membentuk
citra sastra di hati siswa sebagai sesuatu yang menyenangkan, yang
membuat
mereka antusias, dan yang mereka rasa perlukan.
2. Siswa membaca
langsung karya sastra puisi, cerita pendek, novel, drama dan esai, bukan
melalui ringkasan. Karena itu, buku-buku yang disebut dalam kurikulum,
mesti
tersedia di perpustakaan sekolah.
3. Kelas
mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan, sehingga tidak
terasa jadi
beban, baik bagi siswa, maupun untuk guru. Mengarang mesti dirasakan
sebagai
ekspresi diri yang melegakan perasaan. Kiat atau metodanya harus
ditemukan, dan
itu sudah ditemukan, serta dipraktekkan 3 tahun dalam pelatihan MMAS.
Cara kuno
memberi judul klise seperti “Cita-citaku” atau “Pengalaman Berlibur di
Rumah
Nenek” mesti diganti dengan imajinasi yang kaya, yang sesuai dengan
fantasi
siswa. Mengarang bukan cuma menulis laporan, tapi menggugah imajinasi
dan
menuntun siswa berfikir.
4. Ketika
membicarakan karya sastra, aneka-ragam tafsir harus dihargai. Tidak ada
tafsir
tunggal terhadap karya sastra. Guru harus terbuka terhadap pendapat
siswa yang
berbeda, sepanjang pendapat itu dikemukakan dalam disiplin berfikir yang
logis.
Dalam hal ini kelas sastra adalah kelas pendidikan demokrasi, ketika
antara umur
16-19 tahun siswa mulai diperkenalkan kepada perbedaan pendapat dan
belajar
menghargai pendapat yang lain itu. Ebtanas dengan soal pilihan ganda
untuk
tafsir karya sastra adalah kekeliruan yang harus diperbaiki.
5. Pengetahuan
tentang sastra (teori, definisi, sejarah) tidak utama dalam pengajaran
sastra
di SMU, cukup tersambil saja sebagai informasi sekunder ketika
membicarakan
karya sastra. Siswa jangan terus-terusan dibebani dengan hafalan teori
dan
definisi. Tatabahasa tidak lagi diberikan secara teoretis, tapi dicek
penggunaannya dalam karangan siswa.
6. Pengajaran
sastra mestilah menyemaikan nilai-nilai yang positif pada batin siswa,
yang
membekalinya menghadapi kenyataan kehidupan masa kini yang keras di
masyarakat.
Keimanan, kejujuran, ketertiban, pengorbanan, demokrasi, tanggung-jawab,
pengendalian diri, kebersamaan, penghargaan pada nyawa manusia,
optimisme,
kerja keras, keberanian mengubah nasib --- adalah antara lain
nilai-nilai luhur
yang hancur di masa kini, terutama dalam 5 tahun terakhir ini. Karena
itu,
karya sastra yang relevan dengan nilai-nilai itulah yang harus kita
pilih untuk
disajikan kepada siswa, dan didiskusikan di kelas. Kemudian akan tumbuh
kearifan siswa kepada manusia dan kehidupan, terasah sensitivitas
estetiknya,
dan terpupuk empatinya pada duka-derita nasib orang-orang yang malang.
Rangkaian cara
pandang segar atau paradigma anyar ini, baru akan benar-benar tercapai
maksudnya apabila ditunjang oleh kurikulum yang sejalan dan serasi
dengan
paradigma ini.
GERAKAN
SASTRA MAJALAH HORISON, 1996 - SEKARANG
Sehubungan
dengan masalah di atas, majalah sastra Horison menggerakkan enam butir
kegiatan
gerakan sastra, dengan sasaran dunia pendidikan, yang bertujuan
meningkatkan:
budaya membaca buku, kemampuan mengarang, dan apresiasi sastra.
Rangkaian
aktivitas tersebut adalah sebagai berikut ini:
NO
KEGIATAN
SASARAN
PENDANAAN
1
Sisipan Kakilangit
Siswa dan Guru
Majalah Sastra Horison
2
Pelatihan MMAS
Guru
Depdiknas
3
Kegiatan SBSB
Siswa dan Guru
The Ford Foundation
4
Kegiatan SBMM
Mahasiswa
The Ford Foundation
5
LMKS dan LMCP
Guru
Depdiknas
6
SSSI
Siswa
The Ford Foundation
Sisipan
Kakilangit ditujukan untuk siswa SMA dan sederajat, dilaksanakan sejak
1996.
Pelatihan MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra) selama 7 hari
untuk guru
bahasa dan sastra SMA se-Indonesia, 1999-2008, diikuti k.l. 2.000 guru
di 11
kota.
Kegiatan SBSB
(Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) mendatangkan sastrawan ke SMA dan
Pondok
Pesantren, membacakan karya dan berdiskusi dengan siswa serta guru.
Dalam
rentang masa 2000-2008 telah dikunjungi 213 sekolah di 164 kota, 31
provinsi,
oleh 113 sastrawan dan 11 aktor/aktris, bertemu dengan k.l. 100.000
siswa dan
guru.
Mahasiswa
Fakultas Sastra dan Fakultas Bahasa & Seni menjadi sasaran kegiatan
SBMM
(Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca), 2000-2002 di 9 universitas, dengan
mendatangkan 18 sastrawan yang berbicara tentang bukunya.
Guru distimulasi
mengarang dengan Lomba Mengulas Karya Sastra dan Lomba Menulis Cerita
Pendek,
2000-2008, diikuti oleh sekitar 300 guru setiap tahunnya.
Untuk menampung
energi kegiatan sastra siswa dibentuk 30 Sanggar Sastra Siswa Indonesia
(SSSI)
di 30 kota (sejak 2002), berbasis di SMA.
Rumah Puisi
Berdasarkan
pengalaman kegiatan sekitar 10 tahun di atas, yang memancar dari ibukota
ke 164
kota Indonesia, maka saya dan isteri saya Ati, bercita-cita mencoba
menghimpun
kegiatan tersebut di sebuah titik lokasi, diberi nama Rumah Puisi, tanpa
menghentikan atau mengganti kegiatan yang sudah terselenggara sejak 1998
hingga
kini itu.
Lokasi yang
dipilih adalah kawasan pertemuan dua kaki gunung, yaitu Singgalang dan
Merapi,
yaitu Nagari Aie Angek, km 6 Jalan Raya Padang Panjang – Bukittinggi.
Mohon didoakan,
semoga peningkatan budaya baca buku, kemampuan menulis dan apresiasi
sastra
anak bangsa tercapai, sehingga terbentuk manusia terpelajar, bermartabat
dan
dinaungi keteduhan ridha Ilahi. Amin.***
Jakarta, Mei
2009.
KUPU-KUPU DI
DALAM BUKU
Ketika duduk di
setasiun bis, di gerbong kereta api,
di ruang tunggu
praktek dokter anak, di balai desa,
kulihat orang-orang
di sekitarku duduk membaca buku,
dan aku bertanya
di negeri mana
gerangan aku sekarang,
Ketika berjalan
sepanjang gang antara rak-rak panjang,
di perpustakaan
yang mengandung ratusan ribu buku
dan cahaya
lampunya terang benderang,
kulihat
anak-anak muda dan anak-anak tua
sibuk membaca
dan menuliskan catatan,
dan aku bertanya
di perpustakaan
negeri mana gerangan aku sekarang,
Ketika
bertandang di sebuah toko,
warna-warni
produk yang dipajang terbentang,
orang-orang
memborong itu barang
dan mereka
berdiri beraturan di depan tempat pembayaran,
dan aku bertanya
di toko buku
negeri mana gerangan aku sekarang,
Ketika singgah
di sebuah rumah,
kulihat ada anak
kecil bertanya pada mamanya,
dan mamanya tak
bisa menjawab keinginan-tahu puterinya,
kemudian
katanya,
“tunggu, tunggu,
mama buka ensiklopedia dulu,
yang tahu
tentang kupu-kupu,”
dan aku bertanya
di rumah negeri
mana gerangan aku sekarang,
Agaknya inilah
yang kita rindukan bersama,
di setasiun bis
dan ruang tunggu kereta-api negeri ini buku dibaca,
di perpustakaan
perguruan, kota dan desa buku dibaca,