sumber: google.com |
TAFSIR BEBAS TERHADAP WEJANGAN KH MASRUR AHMAD MZ
(PENGASUH PP AL-QODIR TANJUNG WUKIRSARI CANGKRINGAN SLEMAN) TENTANG TERAPI
PECANDU NARKOBA DI PONDOK PESANTREN AL-QODIR WUKIRSARI CANGKRINGAN
SLEMAN
Muhammad Yusuf Anas
[Ditulis
sebagai laporan untuk LKNU dalam rangka menemani kunjungan Pak
Atthobari, Mbak Fitri Nur Aina dan Mbak Dyah Putri M dari PABM
(Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat) “FAJAR HARAPAN” LKNU DIY dan
beberapa penasun di PP Al-Qodir Cangkringan Sleman pada tanggal 8 April
2012, pukul 15.00-16.30 WIB]
Setiap
ada pecandu yang datang dan berniat mengikuti terapi di sini (di PP
Al-Qodir Cangkringan—red.), saya selalu bertanya, ‘Anda benar-benar
berniat ingin berhenti menjadi pengguna narkoba atau tidak? Kalau ya,
ayo kita sama-sama berusaha. Tapi, kalau tidak, lebih baik Anda pulang
saja dan teruslah mencandu sak modarmu (sampai Anda mati—red.).’
Saya
mengambil sikap tegas sedemikian, sebab perkara niat adalah perkara
yang sangat menentukan dalam terapi yang saya terapkan. Karena menurut
hemat saya, terapi apapun yang diberikan kepada pengguna narkoba alias
korban napza akan menjadi sia-sia saja jika mereka tidak punya niat yang
kuat di dalam diri mereka untuk lepas dari jeratan kecanduan yang
mereka alami. Sebaliknya, niat yang kuat di dalam diri mereka
sesungguhnya sudah cukup untuk membuat mereka lepas dari ketergantungan
terhadap narkoba, meskipun mereka tidak menjalani terapi resmi di luar
rumah bersama keluarga.
Tidak sedikit pecandu yang mencoba menjalani rehabilitasi hingga ke luar negeri, tapi hanya karena kurangnya niat, toh
akhirnya kambuh lagi saat mereka kembali ke Indonesia. Jadi, bagi saya,
niat para pecandu untuk berhenti menggunakan narkoba adalah sebuah
syarat awal bagi mereka untuk menjalani terapi di sini.
Pada tahap selanjutnya, setelah si pecandu benar-benar punya niat yang kuat untuk berhenti dari narkoba dan sudah resmi menjadi santri
(KH Masrur Ahmad MZ memanggil setiap peserta terapi di pesantren beliau
dengan istilah ini—red.) saya, maka saya akan menanyakan pola konsumsi
yang selama ini ia lakukan. Katakanlah seorang santri pecandu narkoba
suntik punya kebiasaan nyuntik
(mengkonsumsi narkoba suntik) lima kali sehari, maka sebagai langkah
awal saya akan meminta yang bersangkutan untuk mengurangi jumlah
konsumsinya tersebut. Katakanlah hari pertama di sini, saya suruh mereka
menguranginya menjadi empat kali, hari kedua jadi tiga, hari ketiga
jadi dua, dan begitu seterusnya hingga mereka benar-benar bisa berhenti.
Pengurangan
jumlah konsumsi narkoba ini adalah bagian dari terapi yang saya
berikan. Dalam tahap ini saya akan ‘mengatur’ jumlah konsumsi si pecandu
yang bersangkutan. Sebab, menurut saya, narkoba ini ‘kan menjadi
masalah bagi para pecandu karena tidak adanya aturan saat mereka
mengkonsumsinya, dan saya sangat yakin jika setiap hal yang tidak ada
aturannya memang memiliki kecenderungan untuk merusak. Karena itulah
saya meminta mereka untuk mengatur atau mengurangi jumlah konsumsi
narkoba mereka secara bertahap hingga akhirnya mereka benar-benar bisa
berhenti menggunakan narkoba. Artinya, saya tidak akan memaksa santri
peserta terapi untuk berhenti total secara mendadak. Bahkan, dalam
kasus-kasus tertentu, saya pernah membelikan narkoba untuk mereka yang
memang benar-benar belum bisa mengendalikan kecanduannya.
Terkait
dengan dunia kesehatan, saya pernah mendengar bahwa para dokter secara
ilmiah menjelaskan bahwa salah satu bahaya narkoba adalah melemahkan
syaraf-syaraf tertentu di otak kita. Dan saya juga pernah membaca
pernyataan para ahli medis bahwa syaraf-syaraf di otak kita akan saling
bergesekan saat kita sedang berpikir atau berhadapan dengan masalah.
Dalam kasus pecandu narkoba, gesekan pada syaraf-syaraf mereka yang
sudah terlemahkan oleh narkoba akan memicu keinginan mereka untuk
kembali mengkonsumsi barang berbahaya tersebut. Saya kira teori ini ada
benarnya. Sebab ada kalanya saya menangkap basah santri peserta terapi
narkoba yang kembali menggunakan narkoba saat sedang menjalani terapi,
dan ketika saya tanya, ‘Kok kamu kambuh lagi?’, yang bersangkutan pun
mengaku bahwa ia sedang menghadapi masalah pelik dan tak mampu menahan
diri. Itulah sebabnya mengapa sejak awal saya sangat mementingkan niat
yang kuat dari para pecandu saat mereka ingin menjalani terapi di sini.
Itulah pula alasan mengapa saya menerapkan ‘metode pengalihan’ dalam
terapi saya.
‘Metode
pengalihan’ yang saya maksud adalah mengalihkan perhatian santri
peserta terapi dari keinginan untuk kembali mengkonsumsi narkoba setiap
kali ia mengalami kondisi tersebut. Sebagai contoh, ada seorang santri
pecandu sabu-sabu yang pada saat sedang tergoda untuk kembali nyabu
(mengkonsumsi sabu-sabu—red.), saya justru memintanya untuk menyetir
mobil bersama saya. Saya menggunakan terapi pengalihan ini karena saya
yakin terapi ini akan memaksa yang bersangkutan untuk berfokus pada
tugasnya menyetir. Ketika akhirnya ia ternyata belum mampu mengendalikan
kecanduannya dan mobil yang kami kendarai nyungsep (terperosok—red.) di kali, saya sadar sekali bahwa ini adalah sebagian resiko dari terapi yang saya berikan.
Pada
intinya, terapi di sini sangat membutuhkan peran aktif dari para santri
peserta terapi. Karena itu, saya juga berusaha mengalihkan keinginan
mereka mengkonsumsi narkoba dengan berbagai kegiatan positif di
unit-unit kegiatan pondok, seperti bengkel otomotif, bengkel elektro,
bengkel las, pertanian, peternakan ikan, peternakan sapi, dan
pertukangan. Bagi yang suka utak-atik motor, saya suruh untuk aktif di
bengkel motor, bahkan kalau perlu jadi karyawan. Begitu pula dengan yang
suka neteske iwak (menetaskan telur
ikan—red.), ya saya suruh beraktivitas di kolam peternakan ikan.
Pokoknya, saya terus berusaha bagaimana caranya agar mereka bisa
mengalihkan keinginan negatif dalam diri mereka dan mengkonsentrasikan
perhatian pada kegiatan yang positif. Saya kira ini merupakan salah satu
langkah penting dalam terapi di sini.
Perlu
saya sampaikan bahwa saya tidak bisa menjamin keberhasilan seorang
santri peserta terapi berhenti dari narkoba saat di pondok akan terus
bertahan saat yang bersangkutan kembali ke lingkungannya. Oleh karena
itu, saya sangat menyarankan kepada santri peserta terapi yang sudah
mampu melepaskan diri dari narkoba untuk mencari sebuah lingkungan baru
yang lebih positif. Tidak jarang saya bahkan meminta keluarga yang
bersangkutan untuk pindah rumah. Sebab itu pula saya selalu membuka diri
bagi para santri peserta terapi yang sudah ‘lulus’ jika ternyata
kebiasaan mereka kembali kambuh. Dengan senang hati saya akan kembali
menemani proses terapi mereka selama yang bersangkutan memang
menghendakinya. Saya juga tidak keberatan bila dimintai surat keterangan
rehabilitasi jika misalnya ada lulusan terapi yang kambuh dan ndilalah tertangkap polisi pada saat mengkonsumsi narkoba.
Selain
itu, perlu juga diketahui bahwa, meskipun terapi ini bertempat di
pondok pesantren yang notabene adalah pusat pendidikan Islam, terapi di
sini tidak mengatas-namakan diri sebagai terapi agama. Jadi, kalau ada
yang bertanya, ‘Apakah santri peserta terapi di sini harus muslim?’,
maka dengan tegas saya jawab, ‘Tidak!’, dan saya juga dengan tegas
menyatakan bahwa saya tidak pernah dan tidak akan mewajibkan peserta
terapi non-muslim untuk masuk Islam sebagai syarat untuk mengikuti
terapi.
Lain
halnya jika korban napza yang datang untuk menjalani terapi memang
sudah menjadi seorang muslim. Dalam kasus sedemikian, sudah menjadi
kewajiban saya untuk membimbing dan mengajarkan bagaimana caranya
berislam yang baik kepada mereka. Lantas bagaimana dengan santri peserta
terapi yang beragama Kristiani, misalnya? Saya biasanya meminta mereka
untuk menjalankan agama mereka dengan baik, misalnya dengan mendatangi
gereja pada hari minggu dan lain sebagainya. Jadi, sekali lagi saya
katakan bahwa terapi di sini bukanlah terapi agama.
Jika
ada yang bertanya, ‘Kalau bukan menggunakan terapi berdasarkan hukum
agama, lantas hukum apa yang menjadi landasan terapi di sini?’, maka
jawaban saya terhadap pertanyaan tersebut adalah terapi yang berdasarkan
pada hukum alam. Hukum alam seperti apa? Hukum alam bahwa di balik
setiap kesenangan ada kesulitan yang mengintai, dan di balik setiap
kesusahan akan ada kemudahan yang menyertainya.
Dalam aplikasinya, saya selalu tegaskan kepada santri-santri peserta terapi bahwa jika pada saat sampeyan sedang mengkonsumsi narkoba itu sampeyan
merasa senang, maka ingatlah bahwa kesulitan bisa datang menyergap
sewaktu-waktu. Sebaliknya, saya juga tegaskan kepada mereka bahwa, jika
pada saat menjalani terapi ini Anda merasa susah, maka ingatlah bahwa
sebentar lagi kesenangan akan menghiasi hidup Anda. Saya kira hukum alam
ini berlaku universal dan sebab itulah saya menjadikannya sebagai
landasan terapi di sini. [MYA08142012]
sumber: google |
sumber: LKNU JOGJA
No comments:
Post a Comment
Bantu saya memperbaiki blog ini
dengan menuliskan komentar: