Menu

Sunday, March 13, 2011

Proses vs Hasil Akhir


oleh Muhammad Yusuf Anas pada 12 September 2010 jam 12:34

“Lupakan masa lalu agar kau punya masa depan,” ujarnya.

“Bagaimana mungkin aku melupakan masa lalu, sementara manusia adalah produk dari masa lalu?” tanyaku.

Do whatever it takes! Sebab, hanya dengan begitulah kau akan mampu melangkah ringan menuju cakrawala tak berbatas di masa depan
tanpa harus menanggung beban yang bisa saja menghambat langkahmu.”

“Pilihan yang berat. Aku tidak yakin bisa melakukan itu.”

That’s your choice. Tapi, percayalah. Mereka yang sukses pada hari ini, adalah orang yang tidak pernah bersusah-payah membebani diri dengan hal-hal yang memang sudah terjadi dan tidak mungkin bisa kembali. Mereka adalah orang-orang yang dengan senang hati dan lapang dada mampu menerima apapun yang datang menyapa hidup mereka. Bukankah kita diajarkan untuk meyakini semua ketetapan yang sudah ditetapkan Tuhan, entah itu baik maupun buruk?”

Aku hanya diam; meskipun tidak dengan pikiranku yang menerawang entah kemana.

“Dengan kewenangan yang diberikan Tuhan pada kita untuk mengusahakan perbaikan diri, kita bisa melupakan masa lalu dan menyambut datangnya masa depan yang lebih baik,” imbuhnya.

“Entahlah,” balasku. “Aku merasa masa lalu adalah bagian dari diriku yang sulit aku lepaskan. Selain itu, selalu ada perasaan yang membuatku berpikir bahwa masa lalu adalah akar hidupku, dan apa yang aku tanam di masa lalu adalah hasil panen yang kelak akan aku petik di masa depan.”

“Aku mengerti. Namun, setidaknya, jangan biarkan bagian dari dirimu itu memaksamu untuk mengabaikan bagian lain dari dirimu, yaitu masa depanmu. Kita memang memiliki kecenderungan untuk menyimpan semua kenangan dalam bingkai emas hati kita. Tapi, hati-hati. Kau perlu menguasai kemampuan dalam membedakan kenangan mana yang layak dan kenangan mana pula yang sama sekali tidak layak untuk kau bingkai. Karena tidak semua kenangan yang indah sudah memenuhi syarat sebagai pembakar semangatmu dalam menempuh perjalanan hidup, pun sebaliknya.”

Aku seakan berada di persimpangan. Jujur, aku selalu berusaha untuk tidak menjadi ‘kacang yang lupa pada kulitnya’. Namun, di sudut lain keinginanku, aku juga ingin sampai pada tingkat kearifan bahwa pengalaman hidup yang pahit bisa saja merupakan sebuah hikmah dan kenangan indah bisa jadi hanya sekedar fatamorgana.

“Kau harus terus belajar. Kau harus mampu membuka jendela di ruang cakrawala pikiranmu agar ia tidak sempit dan pengap. Aku yakin kau tentu tidak ingin seperti ‘katak di dalam tempurung’. Iya, kan? Kau tidak boleh membiarkan dirimu terjebak dalam kubangan kesalahan masa lalu yang hanya akan membawamu pada kesalahan-kesalahan baru. Maafkan dirimu, dan yakinlah pada Tuhan Yang Maha Pemaaf.”

Lagi-lagi aku merasa ada sebuah kebenaran yang menohok ulu batinku di balik kata-katanya. Bukankah akibat dari ketidak-mampuanku memaklumi kesalahan guruku di masa lalu telah menjebakku dalam pikiran bahwa aku ini ‘akan selalu menjadi anak yang nakal’? Padahal, bisa jadi ‘selalu’ dalam vonis sang guru tersebut hanyalah sebuah rentang waktu tertentu dan bukan selamanya. Entahlah. Aku berharap suatu hari nanti aku bisa mencapai kearifan hidup sedemikian.

Mungkin memang baru setakat ini sajalah langkah yang bisa aku ayun pada saat ini.

No comments:

Post a Comment

Bantu saya memperbaiki blog ini
dengan menuliskan komentar: