Menu

Sunday, March 13, 2011

Proses vs Hasil Akhir Part II


oleh Muhammad Yusuf Anas pada 17 September 2010 jam 22:25

Aku hanya bisa termenung saat satu per satu sahabat pergi menapak jalan hidup mereka masing-masing; yang tidak lagi menyertakan keberadaan fisik mereka di sisiku. Hanya ada setangkup harap dalam hatiku yang mengiringi langkah kaki mereka: semoga aku tetap mampu menyimpan mereka dalam ingatanku. Kini, aku bisa ikut merasa bangga saat menyaksikan sebagian besar dari mereka sudah menjadi ‘orang’
, kendati aku masih terpuruk di sudut hidup yang kian hari serasa kian tak bersahabat.

“Aku selalu percaya bahwa hidup ini adalah proses dan bukan hasil akhir,” tegas seorang teman baru saat mendengar keluh-kesahku. “Selalu ada peluang untuk menjadi lebih baik, dan hidup ini terlalu berharga jika hanya dipergunakan untuk menyesali masa lalu yang tak akan kembali. Manusia mungkin memang satu-satunya makhluk yang dilengkapi dengan keluh-kesah. Namun, menghabiskan waktu dalam sikap tersebut tidak serta-merta bisa dianggap sebagai perilaku yang manusiawi. It is just not a wise thing to do, you know.”

Aku mengiyakannya; kendati aku harus jujur bahwa aku masih sulit mengganti kesah keluhan dengan desah syukur.

“Sekali lagi, hidup ini adalah proses. Apa kau pikir keberhasilan teman-teman yang kau ceritakan itu adalah hasil akhir dari proses perjalanan hidup mereka? Pikirkan lagi. Hidup adalah proses yang sinambung. Keberhasilan maupun kegagalan yang kau alami saat ini sesungguhnya hanyalah bagian proses hidupmu. Apa kau pikir jika keadaanmu saat ini akan menjamin keadaanmu besok sebagaimana yang kau rencanakan? You have to consider the ‘x’ factor. Akan selalu ada hal-hal yang tak terduga. Langkah apa yang kau ambil saat sesuatu terjadi itulah yang sesungguhnya akan menentukan akhir perjalanan hidupmu. Karena kematian adalah misteri yang jawabannya kita tentukan di sepanjang proses hidup kita. Jadi, ada baiknya jika kita terus belajar memperbaiki sikap terhadap apa yang sedang terjadi di sepanjang proses tersebut ketimbang hanya membayangkan hasil akhir yang belum tentu sesuai dengan harapan. Do your best today, and be patient enough to wait what will happen next.”

Mendengar penjelasannya, aku jadi berpikir jangan-jangan ia memiliki kemampuan membaca pikiran, sebab apa yang ia sampaikan seolah-olah menjawab semua pertanyaan yang berseliweran di benakku. Jujur saja, berkaca pada jalan hidup yang sudah aku tempuh, aku sempat mempertanyakan apa sesungguhnya yang mengantarkan aku pada posisiku saat ini? Kegagalanku dalam kuliah, kegagalanku dalam menekuni seni yang sekian lama sudah aku anggap sebagai minat terbesar dalam diriku, dan berbagai kegagalan lain memang sempat membuatku berpikir jangan-jangan aku memang terlahir sebagai orang yang gagal. Aku tidak mengada-ada. Jujur, aku memang sempat berpikir demikian. Namun, sejak aku mengenal teman baru ini, perlahan-lahan semangat belajarku kembali muncul. Tamparannya yang membangkitkan semangatku barangkali adalah sebuah shock therapy yang memang aku butuhkan.

“Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah kisah tentang takdir dalam kacamata Mullah Nasruddin. Kau tentu pernah mendengar tentangnya, bukan? Kisah-kisah sufi dari negeri 1001 malam sana banyak mengungkap tentangnya. Begini, pada suatu hari seorang murid bertanya kepada Mullah Nasruddin, ‘Apakah takdir itu?’ Dan ia menjawab, ‘ Takdir adalah sejalin peristiwa yang tidak berujung-pangkal, yang masing-masing saling mempengaruhi satu sama lain.’ Namun sang murid ternyata memiliki jawabannya sendiri, ‘Itu adalah jawaban yang tidak memuaskan dan saya lebih mempercayai hubungan sebab dan akibat.’ Dan Nasruddin pun memaklumi pikiran muridnya tersebut. ‘Baiklah,’ jawab Nasruddin. Namun ia menambahkan, ‘Tapi, coba lihat iring-iringan yang sekarang sedang melintas di hadapan kita. Orang yang terikat itu akan segera digantung. Apakah hal tersebut disebabkan karena seseorang telah memberinya uang sehingga ia mampu membeli pisau yang kemudian ia pergunakan untuk membunuh; atau karena seorang saksi telah melihatnya membunuh; atau karena tidak ada seorangpun yang berusaha menghentikannya dari membunuh?’* Hidup adalah proses, bukan? Atau kau ingin mencoba menjawab sebuah pertanyaan yang sudah ada sejak masa Cina Kuno tentang mana yang lebih dulu, ayam atau telur?”

Terima kasih teman; seluruh kalian teman, setiap kalian yang membuatku cukup bangga bisa mengakui kalian sebagai teman. Terima kasih untuk kalian semua. Hadirmu di sisi hadirku adalah bagian dari proses hidup yang tak ternilai harganya. Bahagiaku untuk kalian semua; dulu, kini dan nanti.



* Kisah ini diambil dari bagian pembuka Bab V dari buku Robert E. Ornstein, The Psychology of Consciousness: Revised Edition, Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977, yang mengutip Idries Shah, The Exploits of the Incomparable Mulla Nasrudin (New York: E. P. Dutton, 1972), hal. 112.

No comments:

Post a Comment

Bantu saya memperbaiki blog ini
dengan menuliskan komentar: