Menu

Sunday, August 3, 2014

Khatib Gaul

Hmmm...
Ada komentar? :)

Di lingkungan pesantren, memakai peci saat salat seperti sebuah kewajiban. Rasanya ada yang aneh dan serasa kurang sreg melaksanakan salat tanpa peci. Santri yang kebetulan gothaannya berada di lantai tiga pun rela naik untuk mengambil pecinya demi bisa menjalankan salat jamaah di langgar dengan berpeci. Di langgar pondok hampir tidak pernah ditemui seorang berjamaah tanpa peci.

“Atribut” yang hampir mirip dengan itu adalah sarung dan baju yang cukup rapih. Di langgar pesantren hampir tak ditemui seorang santri berjamaah memakai T-shirt atau pantalon. Peci, sarung, dan gamis adalah syiar pesantren yang telah menjiwa dalam diri seorang santri.Alkisah, ada seorang santri pergi sekolah ke Mesir. Di sana, dalam sebuah orientasi, seorang guru besar alumnus Kairo yang datang berkunjung menyampaikan bahwa setiap orang mengalami perubahan-perubahan tertentu. Perubahan itu tidak secara tiba-tiba dan tidak seperti membalikkan telapak tangan. Perubahan itu pelan-pelan, bertahap, dan acap kali tidak terasa.
Santri tersebut sangat terkesan dengan pesan itu. Ia menjadikannya sebagai cermin buat dirinya. Manusia selalu mengalami perubahan! Memang tidak setiap perubahan adalah buruk. Banyak perubahan justru positif. Tapi tetap harus waspada.
Dia pun melihat dirinya. Yang dulu kurang sreg salat dengan pantalon sekarang sudah sangat terbiasa. Begitu pula dengan baju salatnya. Sudah sering ia menanggalkannya dan dia ganti dengan kaos, bahkan hanya dengan T-shirt yang tentu saja tak berkerah. Dan pecinya, justru ia kadang merasa aneh memakainya.
Beberapa tahun kemudian, ketika dia sudah senior, ia mendapat panggilan dari gurunya agar besok datang ke rumahnya (di daerah Marag Gadid). Suaranya di telphon kurang jelas hingga sulit ia pahami. Dia hanya mengerti besok disuruh datang.
Besoknya, hari Jumat, dia memenuhi panggilan. Dia pergi sowan dengan santai, bercelana blue jeans, kaos berkerah, dan tentu saja tanpa peci. Berkali-kali dia mengetuk pintu rumahnya yang berada di lantai dua, tapi tak ada jawaban. Tampaknya beliau sedang pergi. Tapi ia merasa aneh, kalau memang pergi kenapa justru ia dipanggil ke rumah?
Dia turun ke masjid, tempat dimana dia biasa bertemu dengan gurunya tersebut. Di situ dia diberi kabar oleh muadzin bahwa sang guru pergi ke kampung, dan dia berpesan agar yang menggantikannya jadi khatib dan imam adalah muridnya dari Indonesia.
“Kamu fulan bin fulan? Dari Indonesia?” tanya Pak Muadzin.
“Iya, benar ..” jawab si Santri.
“Kamulah yang disuruh mengggantikan jadi Khatib!”
Mungkin itu adalah peristiwa satu-satunya di dunia. Ada seorang khatib memakai blue jeans, kaos, dan tak berkopyah.
Untuk Sang Guru, Abdur Rahman Awis, salah satu korban Masjid Rabiah al-Adawiyyah kala bedil pasukan As-Sisi mengganas.


sumber: Status Gus Ghofur Maimoen

4 comments:

  1. blog udah difollow, follbacknya ditunggu ya

    ReplyDelete
  2. Saya pernah mendengar kisah tersebut dari Gus Ghofur sewaktu ngaji di Blora. Ternyata sang khatib yang dimaksud tersebut adalah Gus Ghofur sendiri. Hehehe...

    ReplyDelete

Bantu saya memperbaiki blog ini
dengan menuliskan komentar: