Ya Allah Ya Salam, ketika Engkau
menebar keselamatan, keberkahan serta maghfirah di tahun ini,
dahulukanlah saudara-saudara
kami sesama muslim beserta keluarga mereka... Ya Rahman Ya
Rahim, jadikanlah mereka senantiasa dalam golongan orang yang selalu
menerima rahmat dan kasih-sayangMu… Ya Razzaq Ya Basith, berikanlah rizqi haji mabrur untuk mereka
beserta keluarga... Ya Raafi, muliakan dan tinggikanlah derajat
mereka... Ya Malikul Mulk, jagalah mereka dalam
kekuasaan-Mu... Ya
Syakuur, jadikanlah mereka orang-orang yang pandai bersyukur... Ya
Ghaffaar, ampunilah dosa-dosa mereka selama hidup di dunia... Ya
Rabb, kabulkanlah do'a ini... amin ya Rabbal 'alamin...
Masyarakat Jawa dikenal memiliki prinsip hidup yang demikian luhur. Meskipun ada sebagian orang yang beranggapan nilai-nilai luhur tersebut mulai luntur, namun tetap saja kita tidak bisa menutup mata akan pentingnya filosofi hidup tersebut. Pada akhirnya, kalaupun anggapan pudarnya filosofi tersebut benar adanya, tiada siapapun yang bisa disalahkan selain diri kita sendiri.
Berikut adalah sepuluh filosofi hidup masyarakat Jawa dan pengertian singkatnya yang saya salin dari status FB milik KH Hilmy Muhammad PP. Krapyak
Yogyakarta. Semoga bisa menjadi bahan perenungan kita semua. Terutama penyalin pribadi--walaupun, jujur saja, penyalin sendiri bukanlah orang Jawa... :)
1. Urip
Iku Urup
Maksudnya: hidup itu menyala, hidup itu hendaknya memberi
manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Semakin besar manfaat yang bisa
kita berikan tentu akan lebih baik.
2. Memayu Hayuning Bawana,
Ambrasta Dur Hangkara
Manusia hidup di dunia harus mengusahakan
keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan, serta memberantas sifat
angkara murka, serakah dan tamak.
3. Sura Dira Jaya
Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
Segala sifat keras hati, picik,
angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati
dan sabar.
4. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti
Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha
Berjuang tanpa perlu membawa
massa dan bala tentara. Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan
orang lain. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan
atau keturunan. Kaya tanpa didasari kebendaan.
5. Datan Serik
Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan
Jangan gampang sakit hati
manakala musibah menimpa diri. Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.
6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman
Jangan mudah terheran-heran. Jangan mudah menyesal. Jangan mudah terkejut-kejut. Jangan mudah ngambeg, jangan manja.
7. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh
kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.
8. Aja Kuminter
Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka
Jangan merasa paling
pandai agar tidak salah arah. Jangan suka berbuat curang agar tidak
celaka.
9. Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo
Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah. Jangan
berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat.
10.
Aja Adigang, Adigung, Adiguna
Jangan sok kuasa, sok besar, sok
sakti.
Ketika memasuki bulan Rabiul Awal, umat Islam merayakan hari
kelahiran Nabi SAW dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun
dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, barzanji dan pengajianpengajian
yang mengisahkan sejarah Nabi SAW menghiasi hari-hari bulan itu.
Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan seperti itu juga muncul. Dan Imam
Jalaluddin as-Suyuthi (849 H - 911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW
boleh dilakukan. Sebagaimana dituturkan dalam Al-Hawi lil Fatawi:
"Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul
Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara'. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan
apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab:
Menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul,
membaca Al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai
perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmnti bersama,
setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu
termasuk bid’ah al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena
mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka dta dan kegembiraan atas
kelahiran Nnbi Muhammad SAW yang mulia". (Al-Hawi lil Fatawi, juz
I, hal 251-252)
Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk
pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia
ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan
pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk
diteladani. Pengungkapan rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang
yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT :
Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka
bergembiralah kalian. (QS Yunus, 58)
Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya
rahmat Allah SWT. Sementara Nabi Muhammad SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan
kepada manusia yang tiadataranya. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَاأَرْسَلْنَاكَإلَّارَحْمَةًلِلْعَالَمِيْنَ
Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh
alam. (QS. al-Anbiya',107)
Sesunggunya, perayaan maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat
Islam. Benihnya sudah ditanam sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits
diriwayatkan:
Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah
ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, "Pada hari itulah aku
dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR Muslim)
Betapa Rasulullah SAW begitu memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur
kepada Allah SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan
keberadaannya. Rasa syukur itu beliau ungkapkan dengan bentuk puasa.
Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW
termasuk sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan maulid itu isinya
adalah bacaan shalawat, baik Barzanji atau Diba', sedekah dengan beraneka
makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang merupakan amalan-amalan yang
memang dianjurkan oleh Syari' at Islam. Sayyid Muhammad' Alawi al-Maliki
mengatakan:
"Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu
yang sudah lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang
mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat
sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu
memang dianjurkan oleh syara' secara parsial (bagianbagiannya)”
“Sesungguhnya perkumpulan ini merupakan sarana yang baik untuk berdakwah.
Sekaligus merupakan kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh punah. Bahkan
menjadi kewajiban para da'i dan ulama untuk mengingatkan umat kepada akhlaq,
sopan santun, keadaan sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi
Muhammad SAW. Dan hendaknya mereka menasehati dan memberikan petunjuk untuk
selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memperingatkan umat akan
datangnya bala' (ujian), bid'ah, kejahatan dan berbagai fitnah". (Mafahim
Yajib an Tushahhah, 224-226)
Hal ini diakui oleh Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyyah berkata, "Orang-orang
yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAWakan diberi pahala. Begitulah yang
dilakukan oleh sebagian orang. Hal mana juga di temukan di kalangan Nasrani
yang memperingati kelahiran Isa AS. Dalam Islam juga dilakukan oleh kaum
muslimin sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Dan Allah SWT
akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka,
bukan dosa atas bid'ah yang mereka lakukan". (Manhaj as-Salaf li Fahmin
Nushush Bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 399)
Maka sudah sewajarnya kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi SAW sebagai salah
satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga karena isi
perbuatan tersebut secara satu persatu, yakni membaca shalawat, mengkaji
sejarah Nabi SAW, sedekah, dan lain sebagainya merupakan amalan yang memang
dianjurkan dalam syari'at Islam.
KH Muhyiddin Abdusshomad Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Rais Syuriyah PCNU Jember
Tepat 3th usiamu kini, Nak….
Dikokohkanlah
kakimu dalam menapak jalan-Nya….
Dimudahkanlah segenap usahamu
dalam mencapai ridla-Nya….
Abah dan Mama meminta
maafmu, Nak….
Cinta yang terlalu kadang membuat kami lupa bahwa
kau ada dalam duniamu, dan memaksamu hadir di dunia kami….
Indah
duniamu, Nak….
Sayangilah sekelilingmu….
Dengan begitu, kau
akan mengenali kawan dan lawanmu….
Dan, pada akhirnya, kau akan
temukan dirimu dalam Cinta-Nya….
Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bid'ah adalah
peryataan sangat tidak tepat, karena bid'ah adalah sesuatu yang baru atau
diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari
Al-Qur'an dan as-Sunah. Adapun maulid walaupun suatu yang baru di dalam
Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur'an dan as-Sunah.
Pada maulid Nabi di dalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap
syukur, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan
mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan
keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi bersama
bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya di dalam
Al-Qur'an dan as-Sunah.
Pengukhususan Waktu
Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid'ah adalah adanya
pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu
bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini
sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di
dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum
suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus
dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan dari syar'i sendiri(Dr
Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir: hal.27).
Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul
Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini,
apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan
Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang
berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.
Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar'i
tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib (penertiban).
Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi
Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke
masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid
Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat
sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari
hadis ini mengatakan: "Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya
menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan
amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus".(Fathul Bari 3: hal.
84)
Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para
sahabat Anshor juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul untuk
bersama-sama mengingat nikmat Allah,( yaitu datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat
atau mereka menyebutnya Yaumul 'Urubah dan direstui Nabi.
Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro' Mi'roj dan
yang lainya hanyalah untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen
yang sesui, tanpa ada keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau
pengkhususan waktu sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang
kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan
untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal
maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau
ditinggalkan.
Acara maulid di luar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu,
seperti acara pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang
berisi sholawat-sholawat yang lain yang diadakan satu minggu sekali di
desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori maulid, walaupun di
Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita berkeliling
di negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu yang
berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak hanya dalam
satu waktu tapi harus terus menerus dan dapat berganti-ganti cara, selama ada
nilai ketaatan dan tidak dengan jalan maksiat.
Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan
sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu
meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah murni budaya
manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan barang siapa yang meyakini bahwa
acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain bulan Rabiul Awal maka
kami sepakat keyakinan ini adalah bid'ah dholalah.
Tak Pernah Dilakukan Zaman Nabi dan Sohabat
Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid'ah adalah karena acara maulid
tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul
dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat)
dari Al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat
–dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark – dan tidak ada keterangan
apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal
tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.
Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan
persetujuan beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang
ditinggalkan Nabi atau sohabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak
bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib. Disini akan saya
sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:
1. Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau
hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat: "Dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.''(QS Al-Haj: 77).
Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.
2. Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu belai lakukan akan dikira
umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi
meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan
dikira sholat terawih adalah wajib.
3. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat,
seperti apa yang beliau katakan pada siti Aisyah: "Seaindainya bukan
karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka'bah dan kemudian
saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat
bangunan ka'bah menjadi pendek." (HR. Bukhori dan Muslim) Nabi
meninggalkan untuk merekontrusi ka'bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah
agar tidak terganggu.
4. Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam
hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk
memakannya, maka ada yang berkata: "itu biawak!", maka Nabi menarik
tangannya kembali, dan beliu ditanya: "apakah biawak itu haram? Nabi
menjawab: "Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya
merasa jijik!" (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa
yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti
hal itu adalah haram atau dilarang.
5. Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhol.
Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhul)
adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih
luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu Tafahum wad Dark limasalatit
tark)
Dan Nabi bersabda:" Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu
adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka
itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah
melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca:" dan tidaklah Tuhanmu lupa".(HR.
Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah
menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan
batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka
jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat
bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya".(HR.Daruqutnhi)
Dan Allah berfirman:"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.
dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya."(QS.Al Hasr:7) dan
Allah tidak berfirman dan apa yang ditinggalknya maka tinggalkanlah.
Maka dapat disimpulkan bahwa "at-Tark" tidak memberi faidah hukum
haram, dan alasan pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi
dan sahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan
dalil!
Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan: "Saya tidak tahu
bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan Sunah" dengan jawaban: "Tidak
mengetahui dalil bukan berarti dalil itu tidak ada", peryataannya Imam
Suyutiy ini didasarkan karena beliau sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah
mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum'ah. Al-Bayanul
Qowim, hal.28)
Zarnuzi Ghufron Ketua LMI-PCINU Yaman dan sekarang sedang belajar di Fakultas Syariah wal
Qonun Univ Al-Ahgoff, Hadramaut, Yaman