oleh Muhammad Yusuf Anas pada 12 September 2010 jam
12:34
“Lupakan masa lalu agar kau punya masa depan,”
ujarnya.
“Bagaimana mungkin aku melupakan masa lalu,
sementara manusia adalah produk dari masa lalu?” tanyaku.
“Do whatever it takes! Sebab, hanya dengan
begitulah kau akan mampu melangkah ringan menuju cakrawala tak berbatas di masa
depan
tanpa harus menanggung beban yang bisa saja menghambat langkahmu.”
tanpa harus menanggung beban yang bisa saja menghambat langkahmu.”
“Pilihan yang berat. Aku tidak yakin bisa melakukan
itu.”
“That’s your choice. Tapi, percayalah.
Mereka yang sukses pada hari ini, adalah orang yang tidak pernah bersusah-payah
membebani diri dengan hal-hal yang memang sudah terjadi dan tidak mungkin bisa
kembali. Mereka adalah orang-orang yang dengan senang hati dan lapang dada
mampu menerima apapun yang datang menyapa hidup mereka. Bukankah kita diajarkan
untuk meyakini semua ketetapan yang sudah ditetapkan Tuhan, entah itu baik
maupun buruk?”
Aku hanya diam; meskipun tidak dengan pikiranku
yang menerawang entah kemana.
“Dengan kewenangan yang diberikan Tuhan pada kita
untuk mengusahakan perbaikan diri, kita bisa melupakan masa lalu dan menyambut
datangnya masa depan yang lebih baik,” imbuhnya.
“Entahlah,” balasku. “Aku merasa masa lalu adalah
bagian dari diriku yang sulit aku lepaskan. Selain itu, selalu ada perasaan
yang membuatku berpikir bahwa masa lalu adalah akar hidupku, dan apa yang aku
tanam di masa lalu adalah hasil panen yang kelak akan aku petik di masa depan.”
“Aku mengerti. Namun, setidaknya, jangan biarkan
bagian dari dirimu itu memaksamu untuk mengabaikan bagian lain dari dirimu,
yaitu masa depanmu. Kita memang memiliki kecenderungan untuk menyimpan semua
kenangan dalam bingkai emas hati kita. Tapi, hati-hati. Kau perlu menguasai
kemampuan dalam membedakan kenangan mana yang layak dan kenangan mana pula yang
sama sekali tidak layak untuk kau bingkai. Karena tidak semua kenangan yang
indah sudah memenuhi syarat sebagai pembakar semangatmu dalam menempuh
perjalanan hidup, pun sebaliknya.”
Aku seakan berada di persimpangan. Jujur, aku
selalu berusaha untuk tidak menjadi ‘kacang yang lupa pada kulitnya’. Namun, di
sudut lain keinginanku, aku juga ingin sampai pada tingkat kearifan bahwa
pengalaman hidup yang pahit bisa saja merupakan sebuah hikmah dan kenangan
indah bisa jadi hanya sekedar fatamorgana.
“Kau harus terus belajar. Kau harus mampu membuka
jendela di ruang cakrawala pikiranmu agar ia tidak sempit dan pengap. Aku yakin
kau tentu tidak ingin seperti ‘katak di dalam tempurung’. Iya, kan? Kau tidak
boleh membiarkan dirimu terjebak dalam kubangan kesalahan masa lalu yang hanya
akan membawamu pada kesalahan-kesalahan baru. Maafkan dirimu, dan yakinlah pada
Tuhan Yang Maha Pemaaf.”
Lagi-lagi aku merasa ada sebuah kebenaran yang
menohok ulu batinku di balik kata-katanya. Bukankah akibat dari
ketidak-mampuanku memaklumi kesalahan guruku di masa lalu telah menjebakku
dalam pikiran bahwa aku ini ‘akan selalu menjadi anak yang nakal’? Padahal,
bisa jadi ‘selalu’ dalam vonis sang guru tersebut hanyalah sebuah rentang waktu
tertentu dan bukan selamanya. Entahlah. Aku berharap suatu hari nanti aku bisa
mencapai kearifan hidup sedemikian.
Mungkin memang baru setakat ini sajalah langkah
yang bisa aku ayun pada saat ini.
No comments:
Post a Comment
Bantu saya memperbaiki blog ini
dengan menuliskan komentar: