oleh Muhammad Yusuf Anas pada 17 September 2010 jam
22:25
Aku hanya bisa termenung saat satu per satu sahabat
pergi menapak jalan hidup mereka masing-masing; yang tidak lagi menyertakan
keberadaan fisik mereka di sisiku. Hanya ada setangkup harap dalam hatiku yang
mengiringi langkah kaki mereka: semoga aku tetap mampu menyimpan mereka dalam
ingatanku. Kini, aku bisa ikut merasa bangga saat menyaksikan sebagian besar
dari mereka sudah menjadi ‘orang’
, kendati aku masih terpuruk di sudut hidup yang kian hari serasa kian tak bersahabat.
, kendati aku masih terpuruk di sudut hidup yang kian hari serasa kian tak bersahabat.
“Aku selalu percaya bahwa hidup ini adalah proses
dan bukan hasil akhir,” tegas seorang teman baru saat mendengar keluh-kesahku.
“Selalu ada peluang untuk menjadi lebih baik, dan hidup ini terlalu berharga
jika hanya dipergunakan untuk menyesali masa lalu yang tak akan kembali.
Manusia mungkin memang satu-satunya makhluk yang dilengkapi dengan keluh-kesah.
Namun, menghabiskan waktu dalam sikap tersebut tidak serta-merta bisa dianggap
sebagai perilaku yang manusiawi. It is just not a wise thing to do, you know.”
Aku mengiyakannya; kendati aku harus jujur bahwa
aku masih sulit mengganti kesah keluhan dengan desah syukur.
“Sekali lagi, hidup ini adalah proses. Apa kau
pikir keberhasilan teman-teman yang kau ceritakan itu adalah hasil akhir dari
proses perjalanan hidup mereka? Pikirkan lagi. Hidup adalah proses yang
sinambung. Keberhasilan maupun kegagalan yang kau alami saat ini sesungguhnya
hanyalah bagian proses hidupmu. Apa kau pikir jika keadaanmu saat ini akan
menjamin keadaanmu besok sebagaimana yang kau rencanakan? You have to
consider the ‘x’ factor. Akan selalu ada hal-hal yang tak terduga. Langkah
apa yang kau ambil saat sesuatu terjadi itulah yang sesungguhnya akan
menentukan akhir perjalanan hidupmu. Karena kematian adalah misteri yang
jawabannya kita tentukan di sepanjang proses hidup kita. Jadi, ada baiknya jika
kita terus belajar memperbaiki sikap terhadap apa yang sedang terjadi di
sepanjang proses tersebut ketimbang hanya membayangkan hasil akhir yang belum
tentu sesuai dengan harapan. Do your best today, and be patient enough to
wait what will happen next.”
Mendengar penjelasannya, aku jadi berpikir
jangan-jangan ia memiliki kemampuan membaca pikiran, sebab apa yang ia
sampaikan seolah-olah menjawab semua pertanyaan yang berseliweran di benakku.
Jujur saja, berkaca pada jalan hidup yang sudah aku tempuh, aku sempat
mempertanyakan apa sesungguhnya yang mengantarkan aku pada posisiku saat ini?
Kegagalanku dalam kuliah, kegagalanku dalam menekuni seni yang sekian lama
sudah aku anggap sebagai minat terbesar dalam diriku, dan berbagai kegagalan
lain memang sempat membuatku berpikir jangan-jangan aku memang terlahir sebagai
orang yang gagal. Aku tidak mengada-ada. Jujur, aku memang sempat berpikir
demikian. Namun, sejak aku mengenal teman baru ini, perlahan-lahan semangat
belajarku kembali muncul. Tamparannya yang membangkitkan semangatku barangkali
adalah sebuah shock therapy yang memang aku butuhkan.
“Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah kisah
tentang takdir dalam kacamata Mullah Nasruddin. Kau tentu pernah mendengar
tentangnya, bukan? Kisah-kisah sufi dari negeri 1001 malam sana banyak
mengungkap tentangnya. Begini, pada suatu hari seorang murid bertanya kepada
Mullah Nasruddin, ‘Apakah takdir itu?’ Dan ia menjawab, ‘ Takdir adalah sejalin
peristiwa yang tidak berujung-pangkal, yang masing-masing saling mempengaruhi
satu sama lain.’ Namun sang murid ternyata memiliki jawabannya sendiri, ‘Itu
adalah jawaban yang tidak memuaskan dan saya lebih mempercayai hubungan sebab
dan akibat.’ Dan Nasruddin pun memaklumi pikiran muridnya tersebut. ‘Baiklah,’
jawab Nasruddin. Namun ia menambahkan, ‘Tapi, coba lihat iring-iringan yang
sekarang sedang melintas di hadapan kita. Orang yang terikat itu akan segera
digantung. Apakah hal tersebut disebabkan karena seseorang telah memberinya
uang sehingga ia mampu membeli pisau yang kemudian ia pergunakan untuk
membunuh; atau karena seorang saksi telah melihatnya membunuh; atau karena
tidak ada seorangpun yang berusaha menghentikannya dari membunuh?’* Hidup
adalah proses, bukan? Atau kau ingin mencoba menjawab sebuah pertanyaan yang
sudah ada sejak masa Cina Kuno tentang mana yang lebih dulu, ayam atau telur?”
Terima kasih teman; seluruh kalian teman, setiap
kalian yang membuatku cukup bangga bisa mengakui kalian sebagai teman. Terima
kasih untuk kalian semua. Hadirmu di sisi hadirku adalah bagian dari proses
hidup yang tak ternilai harganya. Bahagiaku untuk kalian semua; dulu, kini dan
nanti.
* Kisah ini diambil dari bagian pembuka Bab V dari
buku Robert E. Ornstein, The Psychology of Consciousness: Revised Edition,
Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1977, yang mengutip Idries Shah, The Exploits
of the Incomparable Mulla Nasrudin (New York: E. P. Dutton, 1972), hal. 112.
No comments:
Post a Comment
Bantu saya memperbaiki blog ini
dengan menuliskan komentar: