Menu

Wednesday, February 16, 2011

MUSEUM MASJID AGUNG DEMAK




Jum'at, 4 Juni 2010

Saya tiba di lapangan parkir Masjid Agung Demak sekitar jam 10-an dan setelah mendapat tiket serta membayar di muka, saya langsung memarkir sepeda motor di ruang yang tersedia. Kemudian, saya bergerak menuju tempat wudhu putra lalu mulai mensucikan diri. Serambi masjid tampak sudah ramai dipenuhi jama'ah, dan saya pun segera masuk ke dalam masjid untuk sholat tahiyyatul masjid dan shalat sunat wudhu. Kan, jarang-jarang bisa sholat di masjid tertua di tanah Jawa. So, begitu ada kesempatan, sikat! Apalagi hari ini kan hari Jum'at. Kendati banyak jamaah yang duduk-duduk di serambi masjid, suasana di dalam masjid sama sekali berbeda. Lengang sekali. Hanya ada tiga atau empat orang saja yang sholat maupun i'tikaf di sana.


Selepas sholat, dengan penuh percaya diri saya segera menuju ke arah selatan masjid, dan mencari-cari lokasi Museum Masjid Agung Demak. Seingat saya, ada seorang jama'ah yang beberapa waktu lalu mengusulkan agar saya "sowan teng kidul mriko" ketika saya menanyakan hal ihwal bedug dan kentongan peninggalan Wali Songo. So, di sana-lah saya celingak-celinguk dan hanya menemukan sebuah bangunan joglo yang bukan tempat yang saya tuju dengan Gedung Perpustakaan Masjid di belakangnya.


Akhirnya, saya merendahkan diri pada pepatah lama "Malu bertanya, sesat di jalan." Kebetulan ada beberapa siswa MTs melintas di depan saya, dan saya segera mencolek salah satunya, "Dik, museum masjid dimana ya?"


"Di sana," jawabnya dengan tangan menuding ke arah utara.


"Deket parkiran itu?" tanya saya.


"Ya," dia mengangguk.


"Deket tempat makam-makam itu?" tanya saya lagi.


"Ya," jawabnya lagi.


"Kalo di sini perpustakaan ya?" Pertanyaan ini sama sekali tidak signifikan, dan hanya sekedar usaha saya untuk menghindari kenyataan kalau saya adalah orang yang sedang kesasar.


"Iya, Mas. Kalau museumnya ada di sana," jawab teman sang siswa, mungkin karena jengkel akibat obrolan mereka terputus oleh kebodohan saya.


"Oh ya. Terima kasih ya?"


Setelah sempat menjadi orang yang nyasar, saya harus mampu menjadi orang yang pandai berterima-kasih. Masak udah kesasar masih belum mau berterimakasih? Mengerikan sekali, bukan?


~oOo~


Tepat sebelum saya masuk ke dalam museum, selaras beberapa siswa SD berebutan mengenakan kembali sepatu mereka di pintu museum. Saya bisa melihat jelas bahwa memang ada tulisan di sana: "ALAS KAKI HARAP DILEPAS."


Setelah meninggalkan sandal di depan pintu, saya pun mulai melangkah masuk dan mata saya langsung tertuju pada bedug yang tergantung di sisi kiri tempat saya berdiri. Tak jauh. Karena, museum tersebut memang terkesan sempit sekali. Ukurannya barangkali hanya sekitar 15x5 meter. Sepi. Seisi ruangan museum terasa sangat berwibawa.


Museum tersebut membujur barat-timur, dengan pintu menghadap ke selatan. Di tengah ruangan terdapat bedug, lengkap dengan tiang gantung dan 2 kentongan di masing-masing sisi, serta 2 buah kentongan tidur yang mirip lesung. Di sebelah timurnya, ada miniatur Masjid Agung minus serambi. Saya mendekati bedug dan kentongan. Ingin rasanya menyentuh tapi mata saya menangkap sebuah peringatan "Dilarang Menyentuh Benda Peninggalan" dan saya pun membatalkan keinginan tersebut. Saya tak begitu yakin apa yang membuat saya tidak memberanikan diri untuk melanggar peringatan tersebut. Entah karena taat atau karena takut~sekedar info, saat itu saya sedang sendirian saja di dalam museum.


Perhatian saya berpindah ke dinding dengan harapan menemukan keterangan tertulis tentang bedug dan kentongan ini. Namun yang saya dapatkan justru beberapa daun pintu, termasuk Pintu Bledeg tangkal petir hasil karya Ki Ageng Selo, terpampang di dinding barat museum. Di bawahnya tertata beberapa buah gentong hadiah Putri Campa. Saya mengalihkan perhatian ke dinding utara museum. Di sana saya mendapati silsilah para Sunan, dan daftar urutan nama-nama penguasa di Demak, mulai dari masa para Sultan, Adipati, hingga Bupati di zaman modern ini. Kemudian saya bergerak ke arah timur di mana dinding di sisi ini hanya diisi oleh beberapa gambar peninggalan yang dilengkapi dengan keterangan singkat. Gambar-gambar yang sama juga memenuhi sisi selatan museum. Sebenarnya salah satu gambar tersebut memampangkan pasangan bedug-kentongan bersejarah itu, hanya saja keterangan yang ada di bawahnya sama sekali nggak sinkron. Isi keterangan itu justru membahas secara umum berbagai koleksi yang terdapat di dalam museum.


Tak lama kemudian orang-orang mulai berdatangan. Dan, yang membuat hati saya sedikit kuciwa, saya mendengar suara kentongan yang diketok dengan jari dan suara bedug yang ditabuh dengan kepalan tangan! Serta-merta saya mencari siapa gerangan orang yang "kurang ajar" itu. Ternyata, seorang bapak-bapak! Mungkin usia pertengahan limapuluh. Mirip sekali dengan Pak RT dalam sitkom "Suami-suami Takut Istri" yang tayang di salah satu TV Swasta. "Ah, outlaw juga nih om-om," bisik saya dalam hati. Atau mungkin saja ia tidak melihat peringatan yang ada di sana. Entahlah.


Kemudian, pandangan saya tertuju pada seorang mas-mas yang duduk di meja yang ada di sisi kiri pintu masuk. Saya segera mendatanginya, "Pak Udin ya?"


Oh ya, saya lupa. Sebelumnya saya sempat bercakap-cakap dengan seorang sekuriti di ruang tunggu tamu. Dari sang sekuriti, saya menerima info bahwa juru kunci Museum Masjid Agung Demak ini bernama Pak Udin. Selain itu, Mas Sekuriti juga sempat mengomentari keingin-tahuan saya tentang bedug dan kentongan peninggalan Wali Songo yang ada di Museum Masjid Agung Demak ini, "Setahu saya, bedug dan kentongan itu hadiah dari Putri Campa.... Tapi, ini mung setahu saya lho ya?"


Mas-mas yang duduk di meja petugas museum ternyata bukan Pak Udin, "Bukan! Saya bukan Pak Udin. Saya cuma bantu-bantu aja kok, Mas."


Pikiran saya segera menebak jika ia adalah asisten dari Pak Udin. Benar atau tidak, saya sungkan untuk mempertanyakannya. Tapi, saya melihat ada logo takmir Masjid Agung Demak di dada kanan kemeja yang ia kenakan.


"Gini, Mas," saya mulai mengutarakan hajat saya. "Bedug dan kentongan itu kan merupakan media dakwah yang menjadi ciri khas masjid-masjid NU di nusantara."


Dalam hati saya tergelak, "Sok tahu kali aku ini!"


Tapi, saya bingung harus mulai dari mana. Dan aku tak tahu harus berkata apa. Di kananku luka, di kiriku luka.... Halaah! Malah Iwan Fals-an....


Saya memberanikan diri untuk melanjutkan, "Bisa dibilang bedug dan kentongan tidak akan ditemukan di masjid-masjid yang bukan masjid NU. Umumnya kan takmir masjid itu hanya menyetel kaset Qiro' dan selanjutnya adzan."


Sang asisten juru kunci memotong kalimat saya, "Bagi orang Jawa, bedug dan kentongan itu kan tetenger masuknya waktu sholat dan ini ada filosofinya, Mas."


Belum sempat saya bertanya, dia sudah melanjutkan, "Suara kentongan itu kan 'Tong... tong... tong....' sementara bedug mengeluarkan bunyi 'Dheng....' Lha kentongan dipukul dan keluar suara 'tong, tong, tong,' ini bisa diartikan sebagai sebuah isyarat seolah-olah takmir masjid memberitahukan kepada para jama'ah bahwa, 'Masjid masih kosong, masjid masih kosong.' Dan ketika suara 'dheng' keluar dari bedug yang ditabuh, ini bisa dimaksudkan sebagai pesan bahwa masjid masih sedheng atau masih muat. Sehingga inilah alasan mengapa bedug dan kentongan sering dianggap sebagai alat untuk mengajak jama'ah menuju ke masjid. Nah, setelah jama'ah berkumpul, barulah adzan dikumandangkan. Kan, jaman dulu belum ada pengeras suara."


"Hmmm... menarik," batin saya.


~oOo~


Sebenarnya ada banyak hal yang ia sampaikan pada saat itu, tapi fikiran saya sama sekali tidak fokus: Pak Udin kok gak kunjung datang ya? Setelah beberapa saat, saya pun mulai mengamati jam: pukul 11.05 WIB. Sebentar lagi masuk waktu Shalat Jum'at. Saya harus segera pulang. Saya harus menunda keinginan jum'atan di Masjid Agung Demak, karena motor keburu dipakai adik ipar saya yang kuliah di Semarang.


"Yah, mungkin saya masih harus mengunjungi museum ini di lain waktu agar bisa bertatap-muka dengan Pak Udin. Apalagi kedatangan saya kali ini tidak ditemani sebuah kamera untuk mengabadikan benda-benda peninggalan para Wali yang tentunya sarat akan sejarah," bisik saya dalam hati.


Alhamdulillah....

No comments:

Post a Comment

Bantu saya memperbaiki blog ini
dengan menuliskan komentar: